Surabaya (Antara Jatim) - Asosiasi Rumah Hiburan (Arumha) menilai penetapan pajak hiburan di Kota Surabaya tidak realistis menyusul menurunnya daya beli masyarakat.
Ketua Arumha Yusuf Husni, di Surabaya, Sabtu, mengatakan, selama ini karena tingginya target pajak membuat banyak pengusaha hiburan melakukan jalan pintas, agar usaha mereka tetap bertahan.
"Kami menilai, harusnya pemkot realistis. Melihat kondisi pengusaha hiburan yang sudah kembang kempis seperti saat ini," kata Yusuf Husni.
Ia mencontohkan daya beli masyarakat menurun menjadi penyebab jebloknya usaha hiburan."Memenuhi kebutuhan pokok saja sulit, apalahi kebutuhan hiburan," ujarnya.
Selama ini, lanjut dia, pengusaha hiburan malam memilih bertahan karena usaha bisa berjalan pada hari tertentu. Ditambah lagi, kebijakan pemerintah kota menutup tempat hiburan selama satu bulan, saat libur puasa Ramadhan.
"Dari mana tempat hiburan mendapat untung, kalau usaha dibatasi," ujarnya.
Pansus Pajak Daerah DPRD Surabaya sebelumnya mempertanyakan ketidakkonsisten sikap pemerintah kota dalam menentukan besaran pajak hiburan. Sekretaris Pansus Pajak Hiburan, Adi Sutarwijono mengatakan jika sebelumnya menolak tarif pajak diturunkan, namun dalam kajian akademik yang disampaikan ke kalangan dewan justru meminta tarif pajak tetap, sesuai dengan Perda 4 tahun 2011 tentanhg Pajak Daerah.
Padahal, menurut Wakil Ketua Komisi A DPRD Surabaya ini, dalam pembahasan raperda Pajak Daerah, pansus sudah menaikkan beberapa item pajak, seperti pajak diskotik dan klub malam yang semula 50 poersen menjadi 60 persen.
Adi mengakui, pembahasan masih berlangsung. Namun, jika salah satu pihak tak sepakat dengan pembahasan dan pengesahannya disa dibatalkan. "Baik DPRD maupun Pemkot punya kewenangan untuk itu (membatalkan)," katanya.
Menurutnya, fungsi pajak daerah bagi pemerintah kota apakah untuk mengendalikan perilaku masyarakat atau berpihak pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
"Kami pertanyakan ini, supaya ada kesepakatan tentang fungsi pajak," katanya. (*)