Surabaya (Antara Jatim) - Ketua Komisi Lisensi Lembaga Sertifikasi BNSP Sanromo Wijayanto mengatakan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) di Perguruan Tinggi Negeri/Swasta (PTN/S) yang terekomendasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) masih minim jumlahnya.
"Di Indonesia ada 4.000 perguruan tinggi, namun yang memiliki LSP berdasar MoU dengan BNSP baru 10 lembaga pendidikan tinggi," katanya di sela workshop Pembentukan LSP dan Tempat Uji Kompetensi (TUK) di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Senin.
Dia mengatakan, kalaupun ada kampus yang membentuk LSP dan bahkan melaksanakan uji kompetensi mahasiswanya dan bahkan mahasiswa luar kampusnya, itu berdasar Surat Keputusan (SK) rektor. LSP ini dilarang keras mencantumkan logo BNSP.
"Aturannya tiap perguruan tinggi memiliki LSP. Keberadaan LSP wajib ada di setiap perguruan tinggi," kata Sanromo.
Menurut dia, LSP terekomendasi BNSP yang sudah ada sekarang ada di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Bali, Manado, dan Medan. Jumlah dan penyebarannya belum ideal.
Untuk mempercepat penambahan LSP, lanjutnya, BNSP bekerjasama dengan Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Kerjasama secara spesifik, yakni membuat kurikulum yang terintegrasi dengan dunia kerja, kurikulum yang sesuai kebutuhan industri.
Dia menegaskan, pembentukan LSP di kampus menjadi keharusan. Selain menjadi amanat Undang-Undang 12/2012 yang mengamanatkan perguruan tinggi membentuk LSP, keberadaan LSP kampus juga masih minim dibanding yang dikelola lembaga lain.
"Berdasar data minggu kemarin, di Indonesia total baru ada 632 LSP berdasar MoU dengan BNSP. Rinciannya, 10 di universitas, Politeknik ada 39, SMK ada 314, sisanya di lembaga lain. Ada lembaga Polri, Pertamina, Semen Indonesia dan perusahaan lain," urai Sanromo.
Dia menjelaskan, LSP menerbitkan sertifikat kompetensi keahlian lulusan perguruan tinggi berkompeten kerja fi bidangnya. Lulusan tidak sebatas menerima ijazah.
Adapun syarat kampus membuka LSP, yakni memiliki sarana prasarana perkantoran, memiliki rencana kerja sesuai Standart Kerja Kompetensi Indonedia (SKKI) serta SKK Khusus. Selain itu memiliki perangkat assesment, materi uji, dan asesor. Asesor yang ada dilatih BNSP. Syarat lain, memiliki Tempat Uji Kompetensi (TUK).
Sementara itu, Wakil Rektor I Unusa Prof Kacung Marijan menambahkan, ada beberapa spesifikasi koppetensi yang bisa digarap pihaknya setelah MoU dengan BNSP. Yakni, kesehatan, keperawatan. Selain itu, manajemen, sistem manajemen informasi, analis medis, keamanan kesehatan keselamatan kerja, kesehatan masyarakat dan lainnya.
"Setelah MoU dengan BNSP soal pembentukan LSP dan TUK, Unusa akan menggarap kebidanan dan keperawatan dulu, bahasa inggris keperawatan. Baru profesi lain," sambungnya.
Keberadaan LSP pada pertengahan 2017 ditargetkan sudah terbentuk. Asesor dari kalangan dosen disiapkan sejak sekarang. Kerjasama dengan lembaga asosiasi profesi juga dilakukan.
Rektor Unusa Prof Achmad Jazidie menambahkan, setelah LSP terbentuk kampusnya akan bekerjasama dengan perguruan tinggi lain di Jatim. "Kampus lain yang belum punya LSP ini akan mewajibkan lulusannya mengikuri uji kompetensi di LSP Unusa," tandasnya (*)