Surabaya (Antara Jatim) - Indeks Kemerdekaan Pers di Jawa Timur berdasarkan survei yang dilakukan Dewan Pers berada pada posisi 14 nasional dan mendapat skor 61,90 yang berarti cukup baik.
"Survei yang kami lakukan mencakup tiga bidang, yakni politik, ekonomi dan hukum. Hasilnya Provinsi Jawa Timur mendapat nilai yang cukup baik, tapi belum baik sekali," kata Perwakilan Dewan Pers Christiana Chelsia Chan dalam seminar "Indeks Kemerdekaan Pers di Indonesia : Upaya Menggambar Utuh Pers Indonesia" di kampus Ubaya, Surabaya, Jumat.
Christiana menjelaskan, survei tersebut dilaksanakan di hampir seluruh provinsi di Indonesia sebagai upaya untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah dilakukan Dewan Pers selama ini sejak tahun 2000 dalam menyosialisasikan UU Pers kepada masyarakat.
"Itu juga untuk melihat apakah masyarakat pers dan masyarakat umum serta pemerintah di provinsi kota sudah mengetahui atau bahkan mempraktikan adanya UU Pers dalam konteks kehidupan profesi jurnaistik," katanya.
Yang kedua, lanjutnya, untuk membantu memetakan kondisi kemampuan pers kita dalam merepon kebutuhan akses informasi dari masyarakat, dan menjadi refleksi yang akan menjadi agenda nasional bahkan ditawarkan menjadi agenda provinsi.
"Tapi apakah cukup di kondisi skor 60 itu? Tentu saja kan masih yang perlu ditingkatkan. Dam upaya untuk meningkatkan ini harus menjadi agenda bersama komponen masyarakat di Jawa Timur," tegasnya.
Dia mengatakan, secara keseluruhan, dari 24 provinsi rata-rata berada di angka 60 yang berarti indeks kemerdekaan pers agak bebas atau agak baik.
Ditanya tentang perbedaan dengan survei yang sama yang dilakukan lembaga survei lainnya, dia mengatakan RSF (Reporter Sans Frontier) atau freedom House mereka juga mengadakan survei tapi survei kondisi negara, dan indikator yang digunakan berbeda.
"Kalau ketiga lembaga internasional tapi mempunyai pilihan informan ahli atau responden tunggal dan kemudian dibanding dengan kita, kita mempunyai responden yang jumlahnya lebih dari tunggal, artinya setiap provinsi punya pertanggungjawaban antara angka satu sampai 10 responden," paparnya.
Yang berbeda lagi, lanjutnya adalah pembobotan. Pembobotan yang dipilih oleh Dewan Pers bukan tentang kasus kematian tunggal wartawan, tapi pembobotan dengan pertimbangan karya jurnalistik yang dihasilkan dari proses melaksanakan pencarian berita sampai kualitas dari berita yang dihasilkan, itu bobot yang lebih tinggi.
"Jadi tidak serta merta kita mengikuti seperti bobotnya lembaga internasional yang bobotnya lebih memilih pada kasus kekerasan yang dihadapi wartawan," ujarnya.
Menurut dia, betul kekerasan yang dialami wartawan masih terjadi hingga saat ini tapi kalau bicara statistik saja, efek dari dampak kekerasan yang dihadapi itu tetap harus diimbangi dengan profesi wartawan yang harus tetap jalan.
"Dan untuk itu hasilnya ditunggu masyarkat, sehingga bobot itu yang dipilih oleh Dewan Pers menjadi bobot lebih," tandasnya.
Christina mengatakan, survei tersebut rencananya akan diagendakan berlangsung setiap tahun. "Evaluasi metodolgi sudah dilakukan sehingga akan diujicobakan kembali pada tahun 2017 metodologi survei itu akan dilakukan lewat online, sedang saat ini masih dilakukan face to face," tutupnya
Selain Christina, dalam seminar tersebut juga menghadirkan Azmi Sharom, Dosen University of Malaya, Herlambang Perdana Wiratman, perwakilan Human Rights and Lawa Studies Universitas Airlangga, Prasto Wardoyo, Ketua AJI Surabaya, dan Aloysia Vira Herawati, peneliti dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Ubaya.(*)