Rasanya, spirit Hari Pers Nasional (HPN) itu jauh lebih substansial daripada menyoal HPN itu sebaiknya tanggal berapa atau berapa.
Bisa saja HPN tanggal 9 Februari (Hari Lahir PWI 9 Februari 1946), atau HPN tanggal 1 Januari (tanggal penerbitan pertama koran pribumi "Medan Priayi" yang dinakhodai oleh Tirto Adhi Suryo, 1 Januari 1907), atau mau tanggal yang lain.
Masalahnya, menyoal tanggal HPN itu ibarat menyoal: dulu mana ayam atau telur yang tanpa ujung pangkal dan bisa tuntas dengan penerimaan total, karena organisasi wartawan itu tidak hanya satu dan penerbitan pers yang pertama terbit juga tidak hanya satu.
Organisasi wartawan itu ada "Inlandsche Journalisten Bond" atau IJB (dibentuk Mas Marco Kartodikromo pada 1914), atau Sarekat Journalists Asia (1925), atau Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), atau Persatoean Djurnalis Indonesia (1940), dan sebagainya.
Lantas, penerbitan pers juga tidak hanya satu, karena selain Medan Priayi (1-1-1907), agaknya di Sumatera ada sejumlah koran berbahasa Melayu, seperti "Pewarta Wolanda" yang diterbitkan Abdul Rivai (1900), atau "Bintang Hindia" yang juga diterbitkan Abdul Rivai (1902), lalu di Batavia juga ada "Bataviasche Nouvelles" (1744-1746).
Mau pakai tanggal yang mana? Tanggal X, Y, atau Z pun akan tetap ada protes. Misalnya, lahirnya Medan Priayi (1-1-1907) pun ditentang. Suryadi, dosen di Universiteit Leiden, Belanda, memaparkan data kelahiran sederet penerbitan pers sebelum Medan Priayi.
Suryadi menyebut Soerat Kabar Bahasa Melaijoe (Surabaya, 1856), Soerat Chabar Betawi (Betawi, 1858), Selompret Malajoe atau Slompret Melayoe (Semarang, 1860), Pertela Soedagaran (Surabaya, 1863), dan Bintang Timor (Padang, 1865).
Selanjutnya, Bintang Djohar (Betawi, 1873), Mata Hari (Makassar, 1883), Pelita Ketjil (Padang, 1886), Insulinde (Padang, 1901), dan Bintang Utara (Rotterdam, 1856).
Agaknya, ada hal yang lebih substansial daripada tanggal HPN itu yakni menangkap spirit HPN itu sendiri yang berbeda-beda dalam setiap era.
Spirit HPN yang paling substansial adalah "trust" (kepercayaan) untuk organisasi pers atau "trust" untuk penerbitan pers. Mana yang paling bisa dipercaya? Nah, perbincangan harus mengarah ke "trust" itu, bukan tanggal perayaan.
Era sekarang ini adalah era media siber (cyber media) atau "digital media". Dalam era siber atau digital itu, semua informasi berjalan secepat pergerakan cahaya, sehingga "perang" media itu ibarat semburat cahaya yang berhamburan di depan mata tanpa dapat dihindari lagi.
Karena itu, bicara formalitas yang remeh temeh itu justru akan merugikan, sebab "peperangan" media itu tidak bisa menunggu.
Penyair Indonesia terkemuka Chairil Anwar sudah bilang bahwa "Hidup hanya menunda kekalahan...sebelum pada akhirnya kita menyerah" (potongan bait dalam puisi "Derai-derai Cemara" karya Chairil Anwar).
Ya, jangan seperti itu!. Karena menunda itu sama dengan tergilas, kalah atau menyerah, seperti sejumlah media cetak di dunia yang sudah "wassalam".
Sebut saja Newsweek sebagai contoh. Media cetak yang telah menemani pembaca selama kurun waktu 80 tahun sejak berdiri pada 1933 dan mampu menjadi pesaing utama Time dengan oplah jutaan itu saja akhirnya beralih ke format digital pada akhir tahun 2012.
Tapi, beralih ke digital juga bukan serta merta harus dengan menanggalkan "trust" karena media siber atau media digital juga banyak yang ditinggalkan "pengikut" karena nihilnya "trust" itu.
Jadi, apapun perubahan itu, apapun formalitas itu, agaknya hanya "trust" yang tidak boleh diubah atau diformalkan.
Masyarakat pers Indonesia patut bersyukur, karena lembaga penjaga marwah pers yakni Dewan Pers, telah menyadari "trust" itu.
Sejak 9 Februari 2012, Dewan Pers memberlakukan peraturan bahwa para wartawan yang melakukan tugas jurnalistik di bumi pertiwi Nusantara ini harus melengkapi diri dengan sertifikasi wartawan kompeten melalui uji kompetensi wartawan (UKW) yang diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan (SKW).
Bahkan, Dewan Pers kini mulai membidik perlunya "trust" untuk penerbitan pers. Di sela seminar "Potret Kemerdekaan Pers di Jawa Timur" bersama para jurnalis, humas, organisasi pers, LSM, dan akademisi di Surabaya, 29 September 2015, anggota Dewan Pers Ninok Leksono menegaskan bahwa kebebasan pers itu bukan "freedom from" (bebas sebebasnya), namun "freedom for" (bebas yang bermakna).
"Kebebasan yang bermakna itu memerlukan kompetensi, bukan sekadar bebas. Kebebasan yang bermakna juga memilih informasi yang bermanfaat untuk masyarakat di tengah banjir informasi, bukan sekadar meneruskan informasi, apalagi informasi yang blur (tak jelas kebenarannya)," kata Rektor Universitas Multimedia Nusantara Jakarta itu.
Oleh karena itu, Dewan Pers berusaha memotret kebebasan pers di Indonesia melalui penyusunan Indeks Kemerdekaan Pers sejak 2009 hingga 2013, lalu menyiapkan buku panduan dan melakukan ujicoba buku panduan itu pada 2013-2015.
"Tahun depan (2016), kami akan memulai melakukan serangkaian survei pada beberapa provinsi di Indonesia dan insya-Allah akan ada hasil dari Indeks Kemerdekaan Pers itu pada akhir tahun depan (2016)," tutur wartawan senior itu.
Indeks kemerdekaan pers pada setiap provinsi itu akan memotret provinsi dengan pengaduan pers paling banyak, provinsi dengan media abal-abal paling banyak, provinsi dengan kekerasan terhadap pers yang terbanyak, provinsi dengan daerah konflik yang paling rawan, dan sebagainya.
Pandangan itu dipertegas oleh anggota Dewan Pers Imam Wahyudi dalam diskusi bertajuk "Implementasi Kebebasan Pers untuk Kepentingan Publik" yang diikuti 20 pimpinan redaksi di Surabaya, 4 Februari 2016.
"Kami akan mengeluarkan rapor yang didasarkan pada peringkat pelanggaran. Kalau pelanggarannya parah, seperti melanggar kode etik, kami bisa merekomendasikan bahwa media itu dinyatakan bukan lagi media," katanya.
Ia mencontohkan tahun lalu (2015) sudah ada rekomendasi Dewan Pers untuk enam media yang dinyatakan bukan media lagi, di antaranya dua media dari Sumatera Utara dan dua media dari Kepulauan Riau.
"Pelanggaran terbanyak sebenarnya dilakukan media daring (online). Kalau sudah kami nyatakan bukan media atau bukan pers, maka kalau ada masalah dengan mereka sudah bukan ranah UU Pers, tapi ranah pidana yang berurusan dengan aparat penegak hukum, bukan kami," kata Wakil Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers itu.
Ibarat gayung bersambut, uji kompetensi (sejak 2012) dan rapor media (dipublikasikan mulai akhir 2016) pun diterima kalangan jurnalis dan sudah terlaksana dalam beberapa angkatan.
Hingga 2015 diprediksi sudah 7.000-8.000 wartawan yang tersertifikasi. Selama proses itu, masukan untuk penyempurnaan juga diberikan kalangan pers agar "trust" itu terus bertahan.
Apalagi, pimpinan redaksi di Surabaya menilai lembaga rating justru perlu diwaspadai, karena data yang dipublikasikan sering meragukan, atau data antarmedia kadang berbeda, bahkan ada media yang sudah mati tapi masih didata.
Fakta lain, sejumlah pimpinan redaksi di Surabaya juga mengakui berita kekerasan dengan "rating" tinggi justru menurunkan iklan, karena masyarakat mulai bosan dengan berita-berita yang "hard".
Dalam konteks media siber pun, kalangan pers harus melawan "banjir" informasi dengan siap "perang" untuk menawarkan konten yang "membungkam" konten yang ngawur atau konten yang sengaja ngawur, seperti konten kriminal, konten berideologi radikal, dan sejenisnya dengan jumlah yang juga semakin banyak.
Mereka tidak cukup dilawan dengan blokir, tapi perlu media siber tandingan yang meluruskan informasi radikal itu untuk mencerahkan masyarakat.
Jadi, apapun jenis media-nya, atau apapun era-nya, agaknya "trust" (kepercayaan) tetap nomer satu. Sekali lancung ke ujian, selamanya tidak akan dipercaya. Selamat Hari Pers. (*) (edyyakub@yahoo.com)