Trenggalek (Antara Jatim) - Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur acapkali menemukan data administrasi kependudukan palsu yang diajukan calon maupun mantan tenaga kerja Indonesia (TKI) dari daerah tersebut saat melakukan pengurusan dokumen baru.
"Dokumen-dokumen pendukung untuk pembuatan KK (kartu keluarga) atau KTP biasanya dimanipulasi sedemikian rupa agar calon TKI bersangkutan bisa berangkat ke luar negeri," tutur Kepala Dispendukcapil Trenggalek, Ekanto Malipurbo di Trenggalek, Kamis.
Modus pemalsuan dokumen menurut Ekanto beragam. Ia menduga praktik dan modus pemalsuan dokumen kependudukan calon TKI ataupun anggota keluarganya dilakukan oleh jaringan jasa pengerah tenaga kerja, untuk memudahkan persyaratan administrasi menjadi TKI.
"Saat ditemukan kasus seperti itu, dokumen kami kembalikan dan pemohon diminta untuk membenahi berkas persyaratan dari awal," ujarnya.
Ekanto mengatakan, terdapat beberapa indikasi pemalsuan dokumen, di antaranya jenis tulisan yang digunakan dalam dokumen tidak sesuai standar, nomor registrasi yang tidak terlacak serta perbedaan identitas antara dokumen satu dengan yang lainnya.
Pihak Dispendukcapil Trenggalek memastikan dokumen kependudukan palsu tersebut bukan terbitan dinas kependudukan namun sengaja dipalsukan oleh oknum pengerah jasa tenaga kerja untuk mengakali berbagai persyaratan TKI, mulai dari nama, domisili hingga usia.
"Biasanya kami temukan pada saat mengurus KK, bahkan KK-pun terkadang bukan terbitan dari dispendukcapil, sehingga untuk mengurus dokumen lanjutan, seperti akta kelahiran dan kematian tentu tidak bisa," katanya.
Ekanto tidak merinci jumlah kasus temuan dokumen palsu dimaksud dengan alasan tidak membuat rekapitulasi secara resmi.
Namun ia memperkirakan, temuan kasus dokumen palsu bisa berkisar antara 10-25 kasus setiap bulannya.
"Soal pemalsuannya, siapa pelaku dan siapa terlibat itu menjadi ranah kepolisian karena menyangkut tindak pidana. Bukan wewenang dispendukcapil untuk menyelidiki atau menelusuri hal itu," ujarnya.
Ia meyakini, hingga saat ini dokumen kependudukan ilegal tersebut masih banyak beredar di masyarakat. (*)