Surabaya (Antara Jatim) - Pengamat HAM dan dosen Fakultas Hukum Unair Surabaya Dr Herlambang Wiratraman menilai Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) itu tidak urgen karena akan justru membeber "karpet merah" untuk kapitalis global masuk Indonesia.
"Saya tidak melihat pasal demi pasal, tapi secara substansial ada kesalahan paradigmatik dengan RUU itu," katanya dalam diskusi 'Urgensi RUU Kamnas Bagi Masyarakat' yang digelar Divisi Hukum Polri bersama FH Unair Surabaya di kampus setempat, Kamis.
Menurut dosen yang juga Ketua Serikat Pengajar HAM Indonesia itu, kesalahan paradigmatik itu terkait cara melihat makna kepentingan nasional, ancaman negara, dan perspektif hukum/HAM.
"RUU Kamnas itu tidak urgen sama sekali, karena kepentingan nasional dan ancaman negara itu tidak seperti masa lalu yang menggunakan penindasan fisik atau kekerasan riil," katanya dalam diskusi yang dibuka Kalemdikpol Komjen Pol Drs Safrudin itu.
Dalam konteks RUU Kamnas, katanya, kepentingan nasional itu masih dimaknai mirip stabilitas nasional seperti era Orde Baru, sehingga militer pun harus terlibat dalam konflik tanah, baik berseragam maupun memakai preman.
"Itu cara pandang yang sempit sekali, karena ancaman negara terhadap kepentingan nasional itu bukan sekedar penindasan fisik atau kekerasan riil, namun kepentingan asing yang masuk lewat regulasi," katanya dalam diskusi yang juga dihadiri Gubernur Akpol Irjen Pol Anas Yusuf itu.
Ia mencontohkan kontrak karya, regulasi sektor sumber daya alam, dan MEA merupakan ancaman negara. "Itu bukan sekadar kerja sama Indonesia dengan Malaysia atau Indonesia dengan Singapura, tapi merupakan 'karpet merah' bagi kapitalis global untuk menjajah secara modern," katanya.
Hal yang baik adalah "membaca" secara terbalik bahwa kepentingan nasional itu justru membangun kekuatan Diaspora yang ada di negara-negara lain untuk "membesarkan" Indonesia. "Kalau perlu usahakan dwi-kewarganegaraan untuk mereka," katanya.
Selain kesalahan paradigmatik dalam memaknai kepentingan nasional dan ancaman nasional, urgensi RUU Kamnas juga perlu dilihat dari sisi perspektif hukum/HAM, karena HAM memang bisa dilihat dari dua sisi yakni HAM murni dan HAM untuk kriminalisasi/politisasi.
Sementara itu, pakar politik internasional Sartika Soesilowati PhD menyatakan keamanan ke depan bukan hanya keamanan negara tapi juga keamanan insani. "Artinya kalau ada kekurangan pangan berarti ada ancaman keamanan insani (masyarakat)," katanya.
Selain itu, RUU Kamnas itu bukan hanya sekadar disikapi dengan perbedaan visi dan misi atau kontroversi pendapat, melainkan di dalam RUU Kamnas itu juga ada trauma masa lalu. "Artinya, RUU Kamnas itu masih dianggap akan mengembalikan masa lalu ke masa kini," katanya.
Oleh karena itu, keamanan nasional itu sebaiknya dilihat dari kerja sama regional dan internasional yang akhir-akhir ini sudah menjadi "trend" (kecenderungan). "Jadi, keamanan nasional itu sebaiknya dibatasi pada kerja sama antar-negara," katanya.
Senada dengan itu, Direktur Program Imparsial, Al A'raf, mengatakan RUU Kamnas itu sangat penting untuk dilihat dari sudut kekosongan hukum, apakah hukum yang ada tidak cukup, sehingga perlu RUU baru yakni RUU Kamnas.
"Saya kira RUU Kamnas itu mubazir, bahkan bisa menimbulkan tumpang tindih antara Dewan Kamnas dengan Kemenkopolhukam. RUU itu tidak urgen, karena kita sudah punya UU TNI, UU Polri, UU Terorisme. Kalau pun perlu mungkin cukup RUU Perbantuan TNI untuk Polri atau revisi UU Darurat," katanya.
Dalam sesi dialog, sejumlah peserta menyatakan RUU Kamnas belum urgen dan bahkan ada yang menyatakan RUU Kamnas itu tidak urgen. "Itu tidak perlu, karena akan mengembalikan Dwi Fungsi TNI saja, kalau ada security act di negara lain itu hanya penguatan intelijen atau deteksi dini saja," kata seorang mahasiswa dalam forum itu. (*)