Jakarta - Rancangan Undang Undang (RUU) Keamanan Nasional yang tengah dibahas di parlemen akan menempatkan masyarakat sebagai subjek ketika menentukan jenis ancaman dan aparat yang berwenang menyelesaikan ancaman tersebut. "Di dalam RUU Kamnas jelas diatur bahwa masyarakat ditempatkan sebagai subjek, tidak lagi hanya sebagai objek. RUU Kamnas yang sekarang ini akan dibicarakan dengan DPR berbeda dengan konsep keamanan nasional yang lama," kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Mayjen TNI Hartind Asrin, di sela-sela latihan menembak di Markas Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad), Cilodong, Depok, Jawa Barat, Selasa. Menurut dia, dalam RUU Kamnas tokoh masyarakat akan menjadi bagian dalam keanggotaan Dewan Keamanan Nasional (DKN) di tingkat pusat dan Forum Koordinasi Keamanan Nasional di tingkat daerah, dimana tertuang dalam Pasal 20 RUU Kamnas yang menyebutkan bahwa ada anggota tetap dan anggota tak tetap. Adapun untuk anggota tetap dari Dewan Keamanan Nasional dan Forum Koordinasi Keamanan Nasional antara lain seluruh pemangku kepentingan pertahanan dan keamanan meliputi Kepolisian, TNI, kepala daerah, imigrasi, kejaksaan, dan lainnya. Sedangkan anggota tak tetap adalah masyarakat yang dinilai memiliki kompetensi seperti tokoh masyarakat dan tokoh agama. Staf Ahli Menhan bidang Keamanan ini mencontohkan, ketika ada kasus terorisme yang berlatar belakang agama, maka Dewan Keamanan Nasional akan mengajak tokoh agama untuk menganalisis siapa yang berhak menangani konflik ini. "Ketika sudah ditentukan bahwa yang bergerak adalah polisi dibantu tentara, maka kedua institusi tersebut yang bergerak," ujar Hartind. Dengan keterlibatan masyarakat secara aktif itu, maka demokrasi justru akan dijunjung tinggi karena semua elemen berkumpul untuk menentukan jenis ancaman dan siapa yang menindaknya. Keberadaan Dewan Keamanan Nasional maupun Forum Koordinasi Keamanan Nasional ini akan memberdayakan kekuatan TNI dalam membantu memberikan rasa aman kepada masyarakat, pasalnya selama ini TNI merasa tak diberdayakan. "Ketika ada teroris, TNI justru masa bodoh. Padahal, TNI memiliki kemampuan untuk menemukan teroris," katanya. Terkait dengan Pasal 54 RUU Kamnas yang juga banyak dipertanyakan sejumlah elemen masyarakat karena unsur-unsur keamanan nasional diperbolehkan untuk menangkap, menyadap, hingga melakukan tindakan paksa sesuai UU. "Bunyi pasal itu tak serta-merta setiap unsur keamanan boleh melakukan wewenang yang disebutkan. Untuk kewenangan menangkap diserahkan ke kepolisian sesuai UU Kepolisian, sementara kewenangan menyadap berada di tangan Badan Intelijen Negara seperti yang tertulis dalam UU Intelijen. RUU ini hanya mensinergikan saja," paparnya. Ia menambahkan, secara universal, sistem keamanan nasional itu ada di setiap negara, namun Indonesia yang merupakan negara besar belum punya. "UU Kamnas telat lahir karena kita terlalu banyak mendiskusikannya dan cenderung sudah puas dengan UU organik yang ada di masing-masing unsur keamanan," katanya. Oleh karena itu, dirinya mengajak seluruh komponen masyarakat untuk membahas RUU Kamnas ini bersama-sama dan menganjurkan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang kritis untuk itu membahas RUU di DR. "Silakan datang ke DPR untuk memberikan masukan. Mana lemahnya, mana yang tak diterima. Ini semata-mata agar negeri kita aman," ucap Hartind. (*)
RUU Kamnas Tempatkan Masyarakat Sebagai Subjek
Selasa, 25 September 2012 18:55 WIB