Letjen (Pur) Djaja Suparman Beberkan "Jejak Kudeta" Lewat Buku
Jumat, 18 Januari 2013 20:05 WIB
Jakarta - Mantan Pangkostrad Letjen (Pur) Djaja Suparman membeberkan adanya rencana penggulingan kekuasaan sebanyak dua kali di era reformasi dalam buku biografi berjudul "Jejak Kudeta " yang merupakan catatan hariannya selama menjadi pimpinan militer di masa transisi politik Indonesia.
Hal itu disampaikan Djaja Suparman dalam acara peluncuran buku biogarfinya di Jakarta, Jumat, yang dimoderatori mantan presenter dan aktivis Irma Hutabarat serta dihadiri pengamat politik J Kristiadi dan sejumlah tokoh dan jenderal senior seperti mantan Wakasad Letjen (Pur) Kiki Syahnakri, mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli.
Djadja mengatakan, bukunya merupakan rangkuman catatan harian sejak permata kali bertugas di tentara hingga akhir pengabdiannya sebagai Inspektur jenderal TNI. Namun yang paling berkesan dan mencekam dalam karir militernya adalah ketika menjabat sebagai Pangdam Brawijaya, Pangdam Jaya, dan Pangkostrad.
"Di masa itulah jiwa kepemimpinan militer saya diuji betul, termasuk kesetiaan terhadap Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan mempertahankan ideologi Pancasila. Jadi buku ini sebagai pembelajaran bagi siapa saja untuk tetap mempertahankan NKRI," katanya.
Mengenai buku yang diberinya judul Jejak Kudeta, mantan Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI itu menjelaskan, di masa transisi politik yang diwarnai dengan suasana "chaos", peran TNI menjadi sentral mengingat fungsinya sebagai penjaga keutuhan negara, namun ternyata di situasi kritis tersebut justru muncul sekelompok orang yang ingin melakukan penggulingan kekuasaan terhadap pemerintahan yang sah.
"Selama proses transisi itu ada sekolompok orang yang menggerakkan massa untuk menggulingkan kekuasaan Presiden Soeharto dan Presiden Habibie secara inkunstitusional. Mereka memanfaatkan gerakan mahasiswa untuk emuluskan aksinya," kata Djadja yang sempat bolak balik mengganti judul buku selama 20 kali sebelum sampai pada yang terakhir.
Dalam paparannya, Djadja mengungkapkan bahwa rencana kudeta itu jelas ada namun pada akhirnya gagal di penghujung perjalanan. Dirinya juga beberapa kali mengalami tekanan untuk tidak mematuhi perintah Panglima TNI saat itu Jenderal Wiranto.
"Saya tegas-tegas menolak untuk ikut melakukan kudeta karena bertentangan dengan sumpah prajurit dan Sapta Marga. Belum lagi ada gerakan untuk memecah perwira tingi TNI dengan membagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok reformis dan kelompok yang status quo," katanya.
Lebih jauh, ia mengemukakan bahwa telah terjadi upaya untuk menghancurkan TNI secara kasat mata, serta keterlibatan pihak asing dalam proses reformasi dan demokratisasi yang inggin menggeser Pancasila. Beruntung TNI berhasil mengatasi perpecahan internalnya walau dihujat dimana-mana. Hal itu lebih baik ketimbang TNI berkhianat terhadap rakyat dan negara.
Sementara itu, mantan Wakasad Letjen (Pur) Kiki Syahnakri mengatakan, ada dua hal peting dari peluncuran buku biografi tersebut, yaitu adanya suatu keberanian yang patut dihargai untuk menulis buku yang cukup berat seperti ini, karena memperkaya perspektif sejarah dari peristiwa tersebut.
"Namun demikian, perlu juga kesiapan diri menerima serangan dari pihak lain, mengingat pertiwa politik memiliki beragam dimensi yang melingkupinya. Jadi kalau tidak cukup mengulasnya dari berbagai perspektif maka akan mengundang beragam kritik," kata Kiki Syahnakri. (*)