Jakarta (ANTARA) - Beberapa waktu belakangan, media sosial ramai membicarakan pernyataan seorang komisaris salah satu badan usaha milik negara atau BUMN yang mengaitkan kebiasaan masyarakat yang mengonsumsi kopi dan gorengan dengan pembabatan hutan.
Menurut komisaris itu, jika masyarakat tidak memiliki budaya minum kopi, tidak akan ada ekspansi kebun kopi. Andai warga tidak biasa makan gorengan, tidak akan ada kebun sawit. Dari sana muncul kesan bahwa kerusakan hutan adalah konsekuensi dari pilihan konsumsi atau kebiasaan masyarakat.
Sekilas, pernyataan tersebut tampak lugas dan mudah dipahami. Hanya saja, justru di situ letak masalahnya, yakni ketika terlalu menyederhanakan persoalan yang sebetulnya jauh lebih kompleks.
Ketika isu lingkungan direduksi menjadi soal kebiasaan individu, ada banyak realitas yang terlewatkan. Untuk melihat kekeliruan ini secara lebih jernih, kita dapat menggunakan kacamata ekonomi, khususnya perbedaan antara demand-side dan supply-side.
Dalam pendekatan demand-side, perhatian utama tertuju pada permintaan. Apa yang dikonsumsi oleh masyarakat dianggap sebagai penggerak utama produksi. Dari sudut pandang ini, wajar jika konsumsi gorengan dilihat sebagai pemicu pembabatan hutan untuk perluasan kebun sawit yang merupakan sumber penghasil utama minyak goreng.
Permintaan di masyarakat menciptakan pasar, dan pasar mendorong produksi. Logika ini sering dipakai dalam analisis perilaku konsumen dan strategi bisnis.
Hanya saja, jika logika ini diterapkan mentah-mentah pada isu lingkungan, cara pandang tersebut menjadi sangat problematis. Permintaan hanya menjelaskan apa yang dibutuhkan oleh konsumen, bukan bagaimana kebutuhan itu dipenuhi oleh produsen. Dalam hal ini, menjadi penting untuk menggunakan pendekatan supply-side.
Pendekatan Supply-side melihat persoalan dari sisi penawaran. Konsep tersebut mempertanyakan bagaimana proses produksi berlangsung atau dijalankan, siapa yang memproduksi, di mana produksi dilakukan, dengan teknologi apa, serta di bawah aturan dan insentif seperti apa.
Dalam kaitannya dengan sumber daya alam, pendekatan supply-side mencakup kebijakan tata ruang, perizinan lahan, sistem pengawasan, dan penegakan hukum. Semua keputusan krusial yang pada akhirnya menentukan nasib hutan di satu kawasan ada di ranah supply-side.
Budaya mengonsumsi kopi, misalnya, memang menciptakan permintaan tinggi. Adanya permintaan tersebut tidak otomatis harus membuat kita menebang hutan, bukan?
Kebun kopi bisa ditanam di lahan yang sudah terdegradasi, bisa juga dikembangkan dengan sistem agroforestri yang mempertahankan tutupan pohon, bisa pula diatur agar tidak merambah kawasan hutan lindung. Apakah produksi kopi berujung pada pembabatan hutan atau tidak, hampir sepenuhnya ditentukan oleh keputusan di sisi penawaran.
Hal yang sama juga berlaku pada komoditas lain, seperti sawit. Minyak nabati dibutuhkan, kita sepakati itu, meski, lagi-lagi cara pemenuhannya sangat bergantung pada kebijakan.
Apakah ekspansi dilakukan dengan membuka hutan primer atau dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah ada? Apakah ada batas yang jelas dan diawasi, atau justru pembiaran? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak akan terjawab jika hanya menunjuk cangkir kopi atau nampan gorengan.
Ketika tanggung jawab atas kerusakan lingkungan dialihkan ke konsumen, terjadi pengaburan masalah struktural. Diskusi publik bergeser dari kebijakan dan tata kelola menuju moral perorangan. Masyarakat seolah dibuat merasa bersalah atas konsumsi sehari-hari, sementara keputusan besar terkait izin lahan, zonasi hutan, dan pengawasan produksi luput dari sorotan.
Melempar tanggung jawab pada konsumen juga dapat melemahkan akuntabilitas pejabat negara. Jika kerusakan dianggap sebagai akibat pilihan kolektif masyarakat, maka tidak ada pihak yang benar-benar bisa dimintai pertanggungjawaban.
Padahal dalam sistem pengelolaan sumber daya alam, negara memainkan peran sentral. Akses terhadap hutan tidak terbuka secara bebas. Aksesnya diatur, dibatasi, dan dilegalkan melalui kebijakan. Dalam hal ini, kualitas tata kelola menjadi faktor penentu utama.
Ekonomi sebagai suatu disiplin ilmu tidak pernah mengajarkan bahwa permintaan publik membenarkan produksi yang merusak. Peran kebijakan justru untuk memastikan bahwa produksi berjalan selaras dengan kepentingan jangka panjang.
Permintaan yang sehat perlu diimbangi dengan insentif yang sesuai, regulasi yang jelas, dan pengawasan yang konsisten. Tanpa hal itu, pasar akan selalu mencari opsi termurah, meskipun harus mengorbankan lingkungan.
Apa yang menimpa saudara-saudara kita di Sumatera semestinya menjadi titik balik untuk berpikir. Tragedi lingkungan tidak akan pernah selesai jika publik terus diarahkan untuk merasa bersalah atas konsumsi sehari-hari.
Edukasi secara jujur justru harus dimulai dari pemahaman bahwa kerusakan alam adalah hasil dari pilihan kebijakan. Konsumen memang perlu diminta sadar, tetapi negara tidak bisa melepaskan tanggung jawab struktural yang lahir dari kewenangannya mengatur ruang, izin, dan batas.
Pada intinya, hutan tidak gundul karena kopi di cangkir atau gorengan di piring. Hutan menjadi habis ketika keputusan produksi diambil, tanpa keberanian untuk melindungi yang seharusnya dijaga.
Menyelamatkan hutan adalah soal menata ulang cara kekuasaan digunakan. Karena yang paling menentukan masa depan hutan bukan apa yang kita konsumsi, melainkan kebijakan apa yang kita biarkan terus berjalan.
*) Ismail Khozen adalah pengajar ekonomi perpajakan di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
