Jakarta (ANTARA) - Di tengah riuh rendah pembicaraan tentang ekonomi digital, nasib Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), kita sering kali terjebak dalam sebuah paradoks klasik yang menyedihkan: produknya luar biasa, namun narasi dan pemasarannya masih terbata-bata.
Kita memiliki batik dengan filosofi mendalam di pelosok Jawa, kopi beraroma surga di dataran tinggi Gayo, hingga anyaman rumit nan eksotis di Indonesia Timur.
Namun, tanpa panggung yang layak dan narasi yang kuat, permata-permata ini hanya akan menjadi harta karun yang terpendam, kalah bersaing dengan produk massal impor yang menang di kemasan dan cerita.
Untuk menggemakan hal itu, sebenarnya negeri ini punya jaringan media yang begitu kuat, yaitu LPP TVRI, LPP RRI, dan LKBN ANTARA.
Sudah saatnya kita merevisi cara pandang kita terhadap peran media publik. LPP TVRI, LPP RRI, dan LKBN ANTARA tidak boleh lagi dilihat sebagai menara gading yang berjalan sendiri-sendiri dalam silo-silo birokrasi yang kaku.
Tuntutan zaman dan aspirasi publik kini mengarah pada satu titik temu yang tak terelakkan: perlunya sinergi total antar ketiga lembaga ini.
Mereka adalah raksasa di bidangnya masing-masing yang, jika menyatukan kekuatan, akan menjelma menjadi sebuah "trisula" komunikasi yang solid.
Tujuannya satu: memajukan UMKM dan ekonomi kreatif nasional. Ini bukan sekadar wacana manajerial di ruang rapat, melainkan cetak biru strategi bagaimana negara hadir sebagai marketing arm (lengan pemasaran) yang efektif bagi rakyatnya.
Mengapa kolaborasi ini menjadi sebuah keharusan yang mendesak? Jawabannya terletak pada kekuatan unik masing-masing lembaga yang saling melengkapi.
Jika digabungkan, mereka akan menciptakan ekosistem promosi 360 derajat yang sulit ditandingi oleh platform swasta manapun.
Orkestrasi peran strategis
Mari kita bedah peran LPP TVRI. Sebagai lembaga penyiaran visual dengan jangkauan terluas hingga ke pelosok negeri, TVRI memegang kunci sebagai "etalase visual" bangsa.
Dalam strategi terbarunya yang progresif, TVRI tidak lagi sekadar menayangkan berita seremonial, melainkan aktif menjadi kurator produk lokal.
Melalui program-program kurasi khusus, TVRI memberikan ruang bagi pengusaha mikro terpilih untuk memasarkan produknya langsung di layar kaca, menjadikan televisi sebagai katalog berjalan.
Lebih jauh lagi, TVRI menyadari bahwa di era digital, konten adalah raja. Pembangunan Creative Hub di berbagai stasiun penyiaran daerah adalah langkah jenius yang patut diapresiasi.
Fasilitas ini menjadi ruang fisik gratis yang berfungsi sebagai co-working space bagi konten kreator, sineas, dan komunitas budaya untuk memproduksi materi promosi berkualitas tinggi.
TVRI menyediakan "dapur"-nya lengkap dengan peralatan standar penyiaran, agar UMKM bisa memasak konten visual yang menggugah selera pasar.
Selain itu, TVRI juga cerdik memanfaatkan momentum siaran program-program besar berskala nasional dan internasional untuk menyisipkan pesan promosi produk lokal, memastikan UMKM mendapatkan eksposur di jam tayang utama (prime time).
Di sisi lain, LPP RRI memainkan peran yang lebih intim, personal, dan emosional. Dengan mendeklarasikan diri sebagai "Radio UMKM", RRI menegaskan keberpihakannya pada pelaku usaha akar rumput.
Kekuatannya ada pada kedekatan komunitas dan kemampuan menjangkau pendengar hingga ke wilayah blank spot yang tidak terjamah sinyal internet sekalipun melalui puluhan satuan kerjanya.
Namun, RRI tidak terjebak pada romantisme radio konvensional. Transformasi mereka ke arah digital sangat agresif. Melalui aplikasi RRI Digital, mereka menyediakan fitur khusus yang berfungsi sebagai etalase digital, memungkinkan ribuan pelaku usaha memajang katalog produk mereka secara gratis dan terintegrasi.
Lebih spesifik lagi, RRI menyentuh sub-sektor ekonomi kreatif yang sering terlupakan yaitu musik. Melalui inisiatif inkubasi bakat, RRI hadir melindungi hak cipta dan membantu monetisasi karya musisi lokal dan independen.
RRI bukan sekadar memutar lagu, tapi memastikan senimannya bisa hidup dari karyanya dan masuk ke dalam ekosistem industri yang sehat.
Lantas, di mana peran LKBN ANTARA dalam orkestrasi ini? Jika TVRI adalah mata yang melihat dan RRI adalah telinga yang mendengar, maka ANTARA adalah "otak" dan "jembatan" yang menghubungkan Indonesia dengan dunia.
ANTARA memposisikan dirinya sebagai arsitek narasi nasional yang strategis. Dalam ekosistem bisnis yang penuh dengan kebisingan informasi dan hoaks, validitas adalah mata uang paling berharga.
Berita yang diproduksi ANTARA memiliki kredibilitas tinggi yang mampu meningkatkan kepercayaan publik (brand trust) terhadap sebuah merek UMKM.
Namun, peran paling krusial ANTARA adalah sebagai diplomat ekonomi. Melalui layanan berita berbahasa asing (English Desk) dan kemitraan strategis dengan kantor berita internasional—seperti Reuters, AFP, hingga media di Timur Tengah—ANTARA mampu membawa kisah sukses perajin lokal ke pasar global.
Sebuah produk anyaman dari desa terpencil mungkin hanya dianggap kerajinan biasa di pasar domestik, tetapi bisa menjadi komoditas bernilai tinggi di pasar Eropa atau Asia jika narasi yang dibangun tepat dan didistribusikan melalui kanal global yang kredibel.
Selain itu, ANTARA juga turun ke lapangan melalui program literasi, melatih UMKM tentang teknik visual dan fotografi produk agar "layak tampil" di etalase digital global.
Sinergi ketiga lembaga inilah yang harus segera diwujudkan dalam bentuk operasional yang taktis. Aspirasi untuk memajukan ekonomi kerakyatan harus diterjemahkan menjadi aksi kolektif, bukan kompetisi ego sektoral.
Bayangkan sebuah alur kerja yang terintegrasi. Ketika RRI menemukan "mutiara terpendam" berupa UMKM potensial di pelosok melalui jaringan daerahnya, tim ANTARA siap turun untuk memoles narasinya agar layak baca di level nasional dan global, sementara tim produksi TVRI siap memvisualisasikannya dalam format video yang memikat untuk disiarkan secara luas.
Kolaborasi ini juga harus menyentuh ranah apresiasi dan edukasi yang terinstitusi. Inisiatif pemberian penghargaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga ini—baik kepada Pemerintah Daerah yang mendukung UMKM maupun langsung kepada pelaku usahanya—harus dilihat sebagai strategi branding nasional.
Penghargaan dari lembaga negara bukan sekadar piala seremonial, melainkan validasi kualitas (quality seal) yang bisa digunakan UMKM untuk meningkatkan nilai jual mereka di mata investor maupun konsumen.
Penyelarasan narasi editorial menjadi kunci utama keberhasilan orkestrasi ini. Jangan sampai ada disonansi informasi. Harus ada satu narasi tunggal yang kuat tentang Indonesia Creative Nation atau "Bangga Buatan Indonesia" yang diamplifikasi secara serentak.
Jika satu isu strategis atau satu produk unggulan daerah digaungkan bersamaan lewat visual TVRI, audio RRI, dan teks berita ANTARA, dampaknya akan menciptakan gelombang kesadaran publik yang masif. Efek gema (echo chamber) positif inilah yang dibutuhkan untuk mengubah persepsi pasar terhadap produk lokal.
Kita tidak sedang kekurangan sumber daya atau infrastruktur. Ketiga lembaga ini memiliki aset, jaringan, dan anggaran yang jika disatukan akan menjadi kekuatan raksasa.
Yang kita butuhkan sekarang adalah "lem perekat" berupa kemauan kuat untuk bekerja sama secara taktis dan meninggalkan ego sektoral.
Sudah saatnya TVRI, RRI, dan ANTARA dilihat bukan sekadar sebagai penyiar informasi atau corong kaku, melainkan sebagai mitra strategis (strategic partner) bagi jutaan pelaku UMKM.
Jika orkestrasi trisula ini dimainkan dengan harmoni yang tepat, kita tidak hanya akan melihat UMKM kita bertahan hidup, tetapi melihat mereka tumbuh, naik kelas, dan dengan bangga menaklukkan panggung dunia.
*) Rioberto Sidauruk adalah pemerhati ekonomi kerakyatan, saat ini bertugas sebagai Tenaga Ahli AKD DPR RI.
