Surabaya (ANTARA) - Entah siapa yang memulai, tapi pasca aksi solidaritas untuk Affan Kurniawan, pengemudi ojek online (ojol) yang tertabrak kendaraan taktis (rantis) Barracuda Brimob Polri di Jakarta (28/8/2025), ada aksi lanjutan yang berlangsung anarkis, dengan "kemudi" akun-akun media sosial.
Pemerintah pun menerapkan patroli skala besar dengan mengerahkan TNI-Polri dan Siskamling hingga tingkat desa. Aksi anarkis yang "nebeng" aksi solidaritas itu memang menimbulkan kerusakan dimana-mana, bahkan sejumlah gedung pemerintah dan DPRD di daerah pun jadi sasaran amuk massa.
Oleh karena itu, patroli dan siskamling pun masih diikuti dengan instruksi pemerintah agar jajarannya di bawah juga aktif melakukan komunikasi/serap aspirasi, mengingat insiden yang anarkistis itu sudah bisa dikatakan "perang digital" karena akun-akun digital mulai menyebarkan provokasi yang jauh dari keramahan khas Indonesia.
Padahal, situasi yang saat ini sudah menjadi "perang digital" itu bukan lagi hanya "digerakkan" oleh Generasi Z yang sifatnya gerakan antarkomunitas dalam satu grup medsos, melainkan gerak para penyusup juga berpola digital dan sudah siap dengan molotov di dunia nyata.
Misalnya, masifnya "perang digital" yang sudah "semaunya" itu pun sukses "menggarap" Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Rahayu Saraswati Djojohadikusumo (politisi Gerindra) hingga menyatakan mundur sebagai Anggota DPR RI karena ungkapannya yang dinilai menyakiti banyak pihak pun sangat viral.
"Dengan ini, saya menyatakan pengunduran diri saya sebagai Anggota DPR RI kepada Fraksi Partai Gerindra," kata Rahayu dalam unggahan video di akun Instagram-nya (10/9/2025), yang juga disertai permohonan maaf sebesar-besarnya atas ucapan lewat @rahayusaraswati.
Dalam tayangan Siniar/Podcast "On The Record" dari ANTARA TV, dSaraswati berbincang selama 42 menit, membahas berbagai isu menyangkut perempuan hingga ekonomi kreatif, namun ada dua menit lebih bagian dari video siniar itu "di-framing" secara medsos hingga menyulut amarah masyarakat/warganet.
Akhirnya, ulah sejumlah pihak yang mengunggah potongan video siniar ANTARA TV itu mampu menjadi "framing" yang seolah-olah meremehkan dan bahkan merendahkan upaya dan usaha yang dilakukan oleh masyarakat, terutama anak-anak muda yang ingin berusaha tetapi menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan.
Padahal, kata Sekretaris Fraksi Gerindra DPR RI Bambang Hariyadi, tema pembicaraan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo dalam siniar On The Record di kanal YouTube ANTARA TV secara utuh (42 menit) itu sebenarnya merupakan hal yang baik, untuk memotivasi kaum perempuan agar ikut berperan serta dalam ekonomi kreatif.
Apalagi, siniar/podcast itu sudah tayang sejak Februari 2025, tapi justru baru muncul pasca-aksi massa pada akhir Agustus 2025 berupa potongan podcast Saraswati dengan narasi negatif di medsos hingga menjadi "framing" yang merugikan dan Saraswati pun memilih mundur.
Patroli Siber dan Literasi
Tidak hanya politisi/legislator, agaknya framing dalam "perang digital" pasca-aksi demonstrasi pada Agustus 2025 itu pun menjadi "gosip digital" yang menyasar kemana-mana, termasuk "menggarap" atau "menggoreng" isu di seputar KPK terkait NU dan Muhammadiyah secara institusi/kelembagaan.
Kebetulan, KPK sedang memeriksa seorang oknum personal lembaga di PBNU serta Bendahara Umum PP Muhammadiyah terkait dana kuota haji, padahal oknum PBNU yang bermasalah adalah oknum Lembaga PBNU yang dekat dengan staf Kemenag, sehingga aliran dana yang dimaksud hanya ke oknum Lembaga di PBNU yang personal itu juga sudah setahunan tidak aktif, jadi dana itu mengalir ke oknum, bukan ke institusi PBNU.
Anehnya, "perang digital" itu hanya menjadi framing yang "ditembakkan" ke PBNU, apakah "menggoreng" isu terkait NU itu lebih menguntungkan dalam dampak secara viral, algoritma, dan angka-angka kuantitas (bukan kualitas), apalagi jamaah NU mungkin belum terlalu melek digital ?
Buktinya, "perang digital" dengan PBNU tidak hanya soal dana kuota haji, tapi isu lain juga ada, seperti AKN NU yang terkait dengan akademisi pro-Israel, sehingga Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar pun menyikapi dengan langkah cepat yakni menghentikan AKN NU untuk dilakukan evaluasi menyeluruh, agar tidak "digoreng" kemana-mana.
Langkah cepat itu penting, mengingat "peluru digital" ke arah NU itu semakin tepat sasaran secara viral/algoritma, meski soal hukum (secara kualitas) itu seharusnya menunggu proses yuridis, bukan medsos yang hanya komentar non-hukum dan framing.
"Peluru mungkin hanya membunuh satu jiwa, tapi peluru digital bisa membunuh jutaa jiwa dalam waktu yang relatif singkat," kata peneliti kontraterorisme dan keamanan internasional, Ulta Levenia Nababan, dalam podcast/siniar dengan Deddy Corbuzier.
Artinya, perlawanan secara digital dalam "perang digital" itu menjadi penting. Jadi, "anarkisme" di dunia nyata yang bersumber dunia maya (digital) agaknya tidak cukup diatasi dengan patroli skala besar, siskamling di tingkat bawah, dan serap aspirasi, tapi perlu dua langkah secara simultan dan masif.
Dua langkah penting dalam "perang digital" adalah patroli/siskamling siber dan literasi digital.
Gerakan "massa digital" jauh lebih masif, sehingga aparat keamanan TNI-Polri perlu memprioritaskan "Tentara/Polisi Siber" dengan patroli/siskamling siber yang tidak kalah masifnya dari para penyusup dengan "peluru digital", bahkan perlu juga melibatkan masyarakat dalam Satgas Siber, seperti pecalang di Bali, Banser (GP Ansor/NU), atau komunitas influencer.
Langkah yang juga tidak kalah pentingnya adalah Literasi Digital, yang perlu diprioritaskan oleh jajaran Komdigi melalui serangkaian pelatihan/edukasi media digital secara masif dengan melibatkan jajaran media (Dewas Pers, ANTARA, TVRI, RRI, PWI, AJI, IJTI, AMSI, SMSI) yang juga harus lebih masif lagi, karena "peluru digital" juga ada dimana-mana menjadi "gorengan" (framing) yang renyah/viral.
Walhasil, dua langkah penting melalui patroli/siskamling siber dan literasi digital secara masif itu akan menjadi perlawanan yang imbang untuk mengintersep "perang digital" sehingga masyarakat Indonesia pun menang dan menjadi masyarakat digital yang memiliki kesalehan digital. Semoga.
