Mahasiswi China Teliti Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia
Senin, 22 Oktober 2012 8:14 WIB
Surabaya - Mahasiswi Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya asal Hunan, China, yakni Lu Li Qian Qian, meneliti hubungan identitas etnis Tionghoa di Indonesia dengan minat belajar atau kursus Bahasa Mandarin.
"Sungguh, saya ingin melihat ada atau tidak pengaruh identitas etnis dengan kursus atau belajar Bahasa Mandarin di kalangan mahasiswa keturunan Tionghoa di Surabaya," kata mahasiswi satu-satunya asal China itu di Surabaya, Senin.
Penerima beasiswa Program Kemitraan Negara Berkembang (KNB) atau "Scholarship on Developing Countries Partnership" dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diwisuda pada 21 Oktober 2012 itu menggunakan nama Indonesia, Anna.
"Untuk mengetahui pengaruh itu, saya menyebarkan kuesioner kepada mahasiswa dari etnis keturunan yang belajar Sastra Tionghoa dan membandingkannya dengan mahasiswa etnis keturunan Tionghoa yang belajar Sastra Inggris," katanya.
Hasilnya? "Meski ada pengaruh terhadap identitas mereka, tapi pengaruhnya tidak signifikan. Itu artinya, mereka memang benar-benar berniat ingin belajar Bahasa Mandarin dan bukan ingin meneguhkan identitas sebagai orang China," katanya.
Anna yang juga tercatat sebagai mantan dosen di Guang Xi University for Nationalities, Propinsi Guang Xi, China bagian selatan itu menegaskan bahwa kesimpulan dari penelitian itu berdampak sangat positif bagi bangsa Indonesia.
"Itu karena mahasiswa keturunan yang belajar Bahasa Mandarin memang murni untuk belajar. Artinya, kewarganegaraan mereka memang tidak perlu diragukan lagi sebagai orang Indonesia. Itu modal besar bagi pembangunan Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika untuk lebih maju lagi," katanya.
Menurut dia, modal besar untuk maju itu terlihat karena kekhawatiran terhadap diskriminasi etnis dengan sendirinya akan pupus, karena mereka sudah menjadi satu sebagai orang Indonesia dan mereka tidak ada lagi identitas sebagai orang China.
Putri tunggal pasangan Lu Sheng Luo dan Li Ling itu mengukur identitas etnik Tionghoa di kalangan mahasiswa Tionghoa yang belajar di Surabaya dengan mengadaptasikan melalui skala identitas etnik Asia Timur yang pernah dilakukkan Barry pada tahun 2002.
"Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat identitas etnik mahasiswa Tionghoa yang berada di program studi Sastra Inggris maupun mahasiswa etnis Tionghoa di Sastra Tionghoa, tidaklah signifikan," katanya.
Gadis kelahiran Hunan pada 25 Juni 1988 itu menjelaskan ada beberapa kemungkinan terhadap kesimpulan yang diperolehnya itu, antara lain faktor lingkungan sosial, kesenjangan budaya dan generasi, agama, status polilik, serta keterlibatan dalam kelompoknya.
"Tapi, saya merasa belum mendapatkan apa-apa dari belajar sastra dan budaya Indonesia meski, sudah menyelesaikan program master. Itu sebabnya saya akan melanjutkan ke program doktor (S3), meski harus mengeluarkan biaya sendiri, sambil mencari kemungkinan beasiswa," katanya.
Padahal, kata mahasiswi lulusan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair itu, kampus dimana dirinya mengajar di China sudah memintanya untuk kembali mengajar di sana, tapi ia belum siap, karena ilmu yang diperolehnya tentang Indonesia belum banyak.
"Saya harus bisa menyelesaikan S3 di Indonesia untuk bekal mengajar mahasiswa saya di China. Mereka cukup banyak yang berminat mempelajari Indonesia, jika ilmu yang saya miliki sedikit, bagaimana mahasiswa saya nantinya memahami Indonesia dengan lebih baik," katanya.
Ditanya pengalaman yang menarik selama studi di Indonesia, Anna menceritakan, ketika ia memilih baju yang harus dikenakan saat wisuda di kampus Unair pada 21 Oktober lalu.
"Saya bingung kalau harus pakai kebaya. Dimana mencari bahan dan menjahitnya. Tapi untung ada yang mau membantu saya dan ketika saka kenakan, ternyata saya semakin jatuh cinta dengan Indonesia, bukan hanya sastra dan budayanya yang selama ini saya pelajari, tapi juga busananya," katanya. (*)