Surabaya - Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) menyatakan Indonesia membutuhkan banyak penilai publik karena sampai sekarang belum ada universitas yang membuka program studi tersebut. "Oleh karena itu kami gencar melakukan sosialisasi ke universitas untuk membuat program studi khusus penilai publik. Minimal untuk jenjang pasca sarjana," kata Ketua MAPPI Jatim, Giri Bayu Kusumah, usai melaksanakan Sosialisasi Profesi Penilai di Universitas Airlangga Surabaya, Kamis. Menurut dia, penilai publik adalah penilai yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan untuk memberikan jasa penilaian dan jasa lainnya yang diatur dalam PMK Nomor 125/PMK.01/2008. Pengguna jasa penilai publik contoh pemerintah daerah. "Penilai publik memberi penilaian terhadap aset pemerintah daerah, khususnya pada saat penyusunan laporan keuangan pemerintah daerah," ujarnya. Industri perbankan, jelas dia, juga memerlukan jasa profesi ini di mana penilai publik melakukan penilaian terhadap agunan kredit yang diajukan oleh nasabah debitur. Selain itu masih ada industri pasar modal di mana penilai publik memberikan jasa penilaian terhadap perusahaan listing yang hendak melakukan tindakan korporasi. "Instansi pemerintah seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga perlu penilai publik untuk melakukan penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah sebagai dasar musyawarah penetapan Ganti Kerugian. Penilai publik juga dipakai dalam dunia perpajakan untuk menentukan nilai yang akan dijadikan dasar pengenaan pajak," katanya. Di Indonesia, contoh dia, lembaga pendidikan yang telah menyelenggarakan pendidikan penilai hanya ada dua, yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Univesitas Sumatera Utara (USU) Medan. Sementara, di wilayah lain seperti Surabaya dan wilayah Indonesia Timur di mana kebutuhan akan penilai publik cukup tinggi justru belum ada. "Khusus di Surabaya, MAPPI yang merupakan asosiasi resmi para penilai di Indonesia sudah menjalin kerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi contohnya Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Surabaya (STIESIA). Bentuk kerja sama untuk mulai merumuskan kurikulum bagi pendidikan profesi penilai," katanya. Kini, sebut dia, jumlah penilai publik bersertifikat di Indonesia hanya 329 orang dan 19 orang di antaranya berada di Jawa Timur. Akan tetapi, idealnya perbandingan jumlah penilai publik di Indonesia adalah satu orang per 5.000 orang penduduk. "Kami yakin sosialisasi ini bisa menarik minat perguruan tinggi mengembangkan pendidikan formal di bidang penilaian. Apalagi, sampai sekarang belum ada Strata Satu (S1) jurusan penilaian di Indonesia," katanya. Bahkan, lanjut dia, tujuan sosialisasi tersebut agar tiap mahasiswa semakin tertarik untuk menjadi penilai publik. Padahal, jika pendidikan formal sudah ada maka secara otomatis semakin meningkatkan kualitas dan kuantitas profesi penilai publik. Di tempat serupa, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga Surabaya, Muslich Anshori, menyatakan, mulai mengkaji peluang dibukanya program studi khusus profesi penilai di kampus tersebut. "Kami perlu melihat peluang dan potensinya dulu, kurikulum, dan kesiapan SDM di sini. Kalau memang siap, kami akan buka program studi tersebut dan yang paling mungkin adalah untuk program pascasarjana," katanya.(*)