Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Herti Windya Puspasari menyoroti ancaman sosial perkawinan bagi anak di wilayah pedesaan.
Dalam diskusi yang digelar secara daring di Jakarta, Selasa, Herti memaparkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa antara 2008 hingga 2018, persentase perkawinan anak di desa mencapai 16,87 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan di kota yang mencapai 7,15 persen.
"Angka kenaikan yang fluktuatif setiap tahun menunjukkan bahwa diperlukan usaha yang sistematik dan terpadu demi mencapai penurunan angka perkawinan anak," katanya.
Herti memaparkan sejumlah faktor pemicu tingginya angka ini, antara lain adalah kemiskinan, keterbatasan akses pendidikan akibat kondisi geografis, hingga minimnya informasi mengenai kesehatan reproduksi.
Ia menyebutkan ketimpangan gender dan praktik seks pranikah yang menyebabkan kehamilan tidak diinginkan turut mendorong praktik perkawinan anak. Tradisi lokal dan interpretasi agama juga berperan dalam melanggengkan fenomena ini.
Herti menekankan hal ini dapat berdampak luas dan sistemik. Dari aspek pendidikan, anak yang menikah dini cenderung putus sekolah, terutama perempuan. Di bidang kesehatan, risiko meningkat baik bagi ibu maupun anak.
"Keguguran, perdarahan dan kesulitan melahirkan, bayi lahir prematur dan kurang gizi, dan berbagai risiko yang mungkin terjadi," tambahnya.
Secara ekonomi, lanjut Herti, keluarga pelaku perkawinan anak rentan berada dalam lingkaran kemiskinan antar generasi. Perempuan yang menikah di usia anak biasanya mengalami kesulitan mengakses pekerjaan layak.
Lebih lanjut, ia mengatakan perkawinan anak juga membebani negara karena berdampak pada kualitas sumber daya manusia.
"Perkawinan anak yang terjadi terus menerus dapat mengancam tercapainya bonus demografi yang akan datang," ujarnya.
Negara, kata Herti, telah menaikkan usia minimum perkawinan melalui UU No. 16 Tahun 2019 menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Namun, pada kenyataannya terdapat banyak dispensasi dari pengadilan agama masih mengakomodasi praktik perkawinan anak.
Oleh karena itu, Herti mendorong peran serta pencegahan perkawinan anak berbasis sosial, dengan keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat menjadi pilar utamanya. Dengan demikian, angka pernikahan anak bisa ditekan, sehingga risiko dari peristiwa tersebut dapat berkurang.