Kembali ke... Udik !
Sabtu, 18 Agustus 2012 9:48 WIB
Meminjam istilah "kembali ke... laptop!" dari komedian Tukul Arwana, akhir dari Ramadhan selalu dipungkasi dengan tradisi mudik, tradisi "kembali ke... udik!".
Ya, kembali ke udik atau desa, mengingat udik adalah "kota sesungguhnya" dari para urban atau para perantau, sedangkan kota hanyalah tempat mereka mencari sesuap nasi...
Maka, mudik bukanlah sekadar pulang, karena para urban atau para perantau bukanlah siapa-siapa di kota. Mereka hanya direktur, kepala, ketua, koordinator lapangan, pencari ilmu, buruh, dan "jabatan" lainnya... dalam jebakan rutinitas berangkat pagi, pulang sore atau malam ke peraduan...
Itu sangat jauh berbeda dengan ketika para urban atau para perantau itu mudik, karena di udik ada peran sosial yang cukup bermakna yakni menjadi pakde, paklek, kakek, keponakan, ibu, ayah, kakak, adik, dan "status" lainnya...
Para pemudik pun menemukan keakraban yang tidak formal dan tidak basa-basi ketika bertemu sanak saudara, handai tolan, dan tetangga kanan-kiri, yang bukan sekadar rumah yang bersebelahan dengan tembok kamar. Ya, peran fungsional lebih menonjol dibanding peran struktural di udik...
Namun, tradisi mudik juga menimbulkan "peperangan" antara para urban yang "pamer" kepada saudaranya dengan para urban yang "belajar" kepada saudaranya di udik.
Masalahnya, peperangan itu hingga kini masih dimenangkan urusan "pamer" dari para pemudik, sehingga produk-produk kota pun menjadi gengsi bagi orang-orang udik, baik saudara maupun tetangga...
Buktinya, telepon seluler yang digenggam hingga ke tengah sawah, botol air mineral yang menggeser air sumur mereka sendiri, celana jeans atau motor dengan berbagai gaya yang membalut "gengsi" mereka.
"Barang-barang kota" itu dimaknai sebagai simbol sukses, arti kerja keras, dan makna sebuah kemajuan, sedangkan udik itu ndeso, pelosok, dan tertinggal... Benarkah demikian ?!.
Itulah kekalahan orang-orang udik, orang udik yang merantau ke kota, lalu "memerangi" udik mereka sendiri di saat mudik. Kalau itu yang terjadi, maka orang udik yang tidak memiliki ketrampilan apapun akan tergiur ke kota untuk... kalah!.
Ya, ada nilai-nilai yang dikorbankan atas nama ekonomi atau gengsi... udik sudah kalah (dengan datangnya para pemudik) dan orang udik pun akhirnya kalah pula (bila tergiur ke kota tanpa bekal ketrampilan sama sekali). Haruskah udik mengalami dua kali kekalahan ?!.
Agaknya, mudik atau kembali ke udik harus benar-benar dimaknai "kembali". Artinya, para urban atau para perantau hendaknya tidak mudik untuk sekadar "pamer", melainkan mereka mudik untuk "belajar" tentang nilai-nilai udik.
Nilai-nilai udik dan orang udik yang santun, arif, akrab, gotong royong, dan spiritual akan justru membuat kota dan orang kota mengalami perbaikan, lalu para urban dan para perantau pun tidak melihat ukuran sukses hanya kota....
"Bawa kebiasaan desa ke kota, karena kebiasaan orang desa itu baik,, seperti gotong royong, silaturahmi, dan hormat orang tua. Kalau itu yang dibawa, maka orang kota akan rajin bergotong royong membersihkan selokan dan bersikap santun kepada orang yang lebih tua," ucap Gubernur Jatim Soekarwo saat melepas 4.500-an pemudik dengan 90 bus di Grha Pena, Surabaya (16/8).
Bila "pembelajaran" itu yang terjadi, maka para urban atau pemudik dari kota akan menggali potensi daerah, sehingga orang-orang udik tidak selamanya mengatasi kemiskinan dan ketertinggalan dengan cara kota... cara instan... cara impor... cara anak kecil...
Toh, Indonesia itu bukan hanya kota !
(Minal Aizin Wal Faizin, Wartawan Pasti Salah, Mohon Maaf Lahir dan Batin !).
(edyyakub@yahoo.com) (*).