Ankara (ANTARA) - Militer Myanmar membantah telah membunuh warga sipil dalam serangan udara baru-baru ini terhadap sebuah rumah sakit di negara bagian Rakhine yang menewaskan lebih dari 30 orang, menurut laporan media pemerintah, Sabtu.
Junta militer mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa rumah sakit umum di Mrauk-U, yang terletak di bagian barat negara bagian Rakhine dekat perbatasan Bangladesh, secara resmi ditutup oleh pemerintah pada Juli 2024, menurut harian Global New Light Myanmar.
Harian itu melaporkan bahwa rumah sakit itu resmi ditutup setelah Tentara Arakan (AA) menguasai daerah tersebut menyusul mundurnya pasukan keamanan akibat bentrokan hebat.
"Teroris AA berlindung di rumah sakit itu dan mendirikan kamp mereka, memanfaatkan penampilan rumah sakit sebagai tempat persembunyian," kata pernyataan itu.
Tentara Arakan (AA), yang dibentuk pada 2009, adalah kelompok pemberontak etnis Buddha dari negara bagian Rakhine, Myanmar.
Militer mengkonfirmasi bahwa mereka menargetkan bangunan tersebut dalam serangan udara baru-baru ini, mengeklaim bahwa bangunan itu digunakan oleh AA dan kelompok lain sebagai markas.
"Mereka yang tewas atau terluka bukanlah warga sipil, melainkan teroris dan pendukung mereka," kata junta.
Para Rabu (10/12), setidaknya 33 orang tewas dan 76 luka-luka, termasuk 27 dalam kondisi kritis, setelah pasukan junta membom gedung rumah sakit umum di kota Mrauk-U di negara bagian Rakhine.
PBB mengutuk serangan udara tersebut pada Kamis (11/12). Juru bicara PBB Farhan Haq mengatakan: "Organisasi Kesehatan Dunia melaporkan bahwa ini adalah serangan ke-67 yang terverifikasi terhadap fasilitas kesehatan di Myanmar tahun ini."
Bangladesh mengutuk pemboman
Sementara itu, dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Bangladesh pada Sabtu (13/12) mengutuk pemboman rumah sakit tersebut dan menyatakan keprihatinan atas peningkatan pelanggaran hukum humaniter internasional dan kekerasan baru-baru ini di negara bagian Rakhine.
Bangladesh juga menggarisbawahi pentingnya melindungi warga sipil dan fasilitas sipil tanpa membedakan, menekankan bahwa semua komunitas, termasuk Rohingya dan Rakhine, harus terhindar dari kekerasan.
Bentrokan etnis telah memperparah krisis kemanusiaan di Myanmar karena negara tersebut masih dilanda konflik sipil hampir empat tahun setelah kudeta militer Februari 2021.
Pengambilalihan kekuasaan oleh militer pada 2021 menggulingkan pemerintahan terpilih yang dipimpin oleh Liga Demokrasi Nasional pimpinan Aung San Suu Kyi, dan menjerumuskan negara itu ke dalam keadaan darurat selama lebih dari empat tahun.
Pada Juli, militer mengumumkan transfer kekuasaan nominal kepada pemerintahan sementara yang dipimpin sipil menjelang pemilihan yang direncanakan pada Desember dan Januari, meski kepala junta tetap menjadi presiden sementara.
Lebih dari 6.000 orang telah tewas dan hampir 3 juta orang mengungsi akibat pertempuran antara junta dan kelompok oposisi, menurut para pemantau hak asasi manusia.
Sumber: Anadolu
