Surabaya (ANTARA) - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur menilai Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Jawa Timur merupakan langkah strategis dan progresif yang sangat diperlukan.
"Karena itu Fraksi Partai Gerindra merekomendasikan penyusunan roadmap implementasi yang detail dengan timeline yang jelas," kata juru bicara Fraksi Gerindra DPRD Jatim dr Benjamin Kristianto saat sidang paripurna di Surabaya, Senin.
Lanjutnya, termasuk tahapan pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), pengembangan sistem informasi terintegrasi, dan program capacity building untuk aparatur pelaksana.
Alokasi anggaran yang memadai dan berkelanjutan perlu dipastikan, dengan mempertimbangkan pembelajaran dari daerah lain bahwa keterbatasan anggaran seringkali menjadi bottleneck implementasi.
Penguatan aspek pencegahan melalui program literasi digital yang masif dan berkelanjutan harus melibatkan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara sistematis, serta pembentukan sistem monitoring dan evaluasi yang robust dengan indikator kinerja yang terukur.
"Kami akan aktif memastikan bahwa Raperda ini tidak hanya menjadi regulasi formal, tetapi benar-benar menjadi instrumen efektif dalam mewujudkan Jawa Timur yang aman dan berkelanjutan bagi perempuan dan anak," katanya.
Benjamin mengungkapkan Fraksi Partai Gerindra mengapresiasi langkah penggabungan Perda Nomor 16 Tahun 2012 dan Perda Nomor 2 Tahun 2014 sebagai terobosan strategis yang mencerminkan pemahaman komprehensif tentang urgensi Pelindungan kelompok rentan di era transformasi digital.
Menurut data Fraksi Gerindra menunjukkan tantangan serius dengan 771 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1.103 kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2024, serta fenomena perkawinan anak yang meskipun menurun dari 17.214 kasus di tahun 2020 menjadi 8.753 kasus di tahun 2024, namun masih memerlukan perhatian khusus.
Pihaknya juga memberikan penghargaan atas pendekatan holistik yang diadopsi dalam Raperda ini, khususnya pengakuan terhadap ancaman baru di era digital.
Data fraksi bahwa 93,3 persen anak usia 16-24 tahun memiliki smartphone dan 41 persen anak menyembunyikan usia asli mereka saat online menunjukkan kompleksitas tantangan yang harus dihadapi.