Jakarta (ANTARA) - Jakarta boleh terus berdenyut tanpa henti, tapi di sebuah pojok kotanya, waktu seolah terpaku sejenak, memberi ruang bagi kenangan untuk hidup kembali.
Di sana berdiri Pondok Nusantara, bukan sekadar restoran, melainkan altar kenangan tempat rasa menjadi bahasa cinta, dan masakan menjadi medium ingatan.
Ia bukan didirikan untuk sekadar menjual makanan, melainkan untuk menjaga apa yang tak bisa dibeli yakni kehangatan masa kecil, aroma dapur ibu, dan rasa yang diam-diam mengikat anak-anak pada rumahnya, bahkan setelah dewasa dan berjarak.
Restoran ini bukan dibangun oleh investor besar atau chef-celebrity, melainkan oleh lima bersaudara yang tumbuh dengan satu kenangan paling kuat dalam hidup mereka, masakan ibu.
Diresmikan pada 13 April 2025, Pondok Nusantara adalah persembahan cinta dari lima anak Mama Lisa atau yang akrab disapa Ny. Ahan, seorang ibu rumah tangga asal Deli Serdang, Sumatera Utara, yang tak pernah menyangka keahliannya di dapur kelak akan menjadi fondasi bisnis keluarga yang sarat makna.
Mama Lisa belajar memasak dari bibinya yang bekerja di restoran seafood terkenal di Jakarta. Ilmu itu ia bawa pulang dan sempurnakan sendiri melalui pengalaman dan eksperimen di dapur rumah.
Ia tidak pernah menulis resep, tetapi kelima anaknya tumbuh dengan ingatan tajam akan rasa, pedasnya sambal terasi buatan sendiri, renyahnya bakwan udang, hingga gurih lembutnya gurame terbang yang selalu hadir di meja makan saat momen spesial keluarga.
Waktu berjalan. Anak-anak Mama Lisa tumbuh, menjalani kehidupan masing-masing, dan perlahan, seperti semua anak dewasa lainnya, mereka mulai merindukan satu hal yang tak tergantikan, aroma dapur rumah.
Kerinduan itulah yang menyatukan mereka kembali, bukan sekadar dalam reuni keluarga, tetapi dalam niat membangun sesuatu yang abadi.
Ide awal membangun Pondok Nusantara datang dari si bungsu, Dedy Tan. Ia mengenang bagaimana masakan sang ibu pernah menjadi pusat kebahagiaan mereka sekeluarga.
“Saya ingin rasa masakan Mama tetap hidup, bahkan setelah kami semua dewasa dan sibuk dengan kehidupan masing-masing,” kata Dedy dengan nada penuh keyakinan.
Ia kemudian mengajak saudara-saudarinya untuk membuat sebuah tempat di mana rasa itu bisa dikenang bersama, tidak hanya oleh keluarga mereka, tetapi juga oleh siapa pun yang merindukan cita rasa rumah.
Pondok Nusantara bukan hanya bisnis, ia adalah pernyataan cinta, kesetiaan pada rasa, dan penghargaan terhadap tradisi.
Menu andalan mereka seperti Gurame Terbang, Kepiting Nusantara, Bakwan Udang, dan Sambal Terasi bukanlah kreasi chef profesional, tetapi sajian yang dahulu sering menghangatkan suasana makan malam di rumah mereka.
“Kami ingin orang lain merasakan apa yang dulu kami nikmati di rumah,” ujar Dedy lagi.
Lima bersaudara
Setiap sudut restoran ini dirancang dengan kesan rumahan yang hangat. Tidak megah, tidak berlebihan, tapi sarat keintiman.
Di sana, pengunjung tidak hanya makan, tapi diajak pulang, pulang kepada kenangan, pulang kepada rasa yang tulus, pulang kepada meja makan tempat cerita dan tawa mengalir begitu saja.
Pondok Nusantara juga menjadi bukti betapa kuatnya kekompakan keluarga dalam membangun sesuatu bersama.
Lima bersaudara ini berbagi peran, dari urusan dapur, manajemen, hingga pelayanan. Tak mudah memang menyatukan visi, apalagi dalam dunia usaha yang kompetitif.
Tetapi karena mereka memiliki tujuan yang sama untuk melestarikan rasa dan kenangan akan ibunda tercinta, sehingga semua tantangan itu menjadi bisa dilewati.
“Kami tidak hanya berbisnis, kami merayakan kenangan,” kata Sumardi, putra sulung yang kini mengelola bagian operasional restoran.
Dalam setiap hidangan yang tersaji, ada pesan yang ingin disampaikan bahwa masakan bukan sekadar urusan perut, tapi juga hati.
Bahwa di balik setiap sendok sambal dan gigitan ikan goreng, ada cerita tentang masa kecil, tentang tawa yang meledak saat makan bersama, tentang kehangatan yang tak terganti.
Di sanalah letak kekuatan sesungguhnya dari usaha kuliner berbasis keluarga, ia tidak dibangun dari impian besar yang abstrak, tetapi dari sesuatu yang sangat manusiawi, kerinduan.
Pondok Nusantara juga mengingatkan siapapun yang mampir bahwa menjaga warisan bukan berarti membeku di masa lalu.
Justru dengan membawanya ke ruang publik, ke tengah kota yang sibuk, warisan rasa itu bisa terus hidup, diperkenalkan kepada generasi baru, dan menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas.
Dalam dunia yang serba cepat ini, di mana makanan sering kali instan dan rasa dikompromikan demi efisiensi, kehadiran restoran seperti ini adalah oase, tempat orang bisa berhenti sejenak, mencicipi, dan mengenang.
Kisah Pondok Nusantara adalah satu dari banyak kisah keluarga Indonesia yang menjadikan dapur sebagai ruang sakral. Ruang di mana cinta diungkapkan lewat rasa, dan kenangan dibungkus dalam aroma tumisan atau rebusan kuah pedas.
Namun yang membuat cerita ini berbeda adalah keberanian untuk mewujudkan kenangan itu ke dalam bentuk nyata, agar tidak hanya hidup dalam ingatan, tapi juga hadir di piring banyak orang.
Di akhir hari, semua orang butuh tempat untuk pulang dan kadang, yang paling sederhana adalah semangkuk sayur, sepiring ikan goreng, dan sambal buatan tangan yang mengingatkan seseorang pada siapa hakikat diri sesungguhnya.
Maka restoran yang ada bukan semata tempat menjual mimpi besar, melainkan menghidupkan yang kecil dan berarti. Dan justru dari sanalah, inspirasi besar bermula.
Memelihara warisan rasa dalam bisnis kuliner keluarga
Rabu, 7 Mei 2025 13:48 WIB

Berbagai menu warisan keluarga menjadi andalan restoran untuk disajikan kepada pengunjung. (ANTARA/Hanni Sofia)