Surabaya (ANTARA) - Pengamat Ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Gigih Prihantono menilai kebijakan penghapusan denda pajak yang rutin dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Timur lebih tepat dibandingkan kebijakan penghapusan tunggakan pajak kendaraan bermotor yang diterapkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
"Kedua kebijakan tersebut memiliki dampak berbeda terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)," kata Gigih di Surabaya, Kamis.
Ia menyebut penghapusan tunggakan pajak dapat berdampak negatif pada fiskal daerah, sementara penghapusan denda dinilai lebih efektif dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
"Jika kita lihat, PAD Pemprov Jabar dari pajak kendaraan bermotor per tahun sekitar Rp10 triliun, namun dengan kebijakan ini baru terkumpul sekitar Rp70 miliar lebih atau kurang dari 1 persen. Ini memang bisa meningkatkan popularitas, tetapi secara keuangan daerah kurang baik," kata Gigih.
Ia menambahkan bahwa penghapusan tunggakan pajak selama bertahun-tahun berisiko menurunkan penerimaan daerah, yang pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan publik.
Sementara itu, ia menilai kebijakan penghapusan denda pajak yang diterapkan Pemprov Jatim lebih sejalan dengan prinsip perpajakan yang adil dan berkelanjutan.
"Pajak adalah kewajiban yang kembali ke masyarakat dalam bentuk fasilitas publik, seperti subsidi untuk Bus Trans Jatim. Jika tunggakan pajak dihapuskan bertahun-tahun seperti di Jabar, saya khawatir pelayanan publik dapat terganggu, termasuk bantuan bagi warga kurang mampu yang tidak tercover oleh pemerintah pusat," ujarnya.
Lebih lanjut, Gigih menyoroti efektivitas kebijakan penghapusan pajak secara keseluruhan. Ia menyebut pengalaman kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) di tingkat nasional menunjukkan bahwa pembebasan tarif pajak tidak serta-merta meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
"Jika alasannya untuk meningkatkan kepatuhan pajak, maka menghapus seluruh tunggakan pajak selama bertahun-tahun kurang tepat. Sejarah menunjukkan bahwa kebijakan serupa, seperti tax amnesty, tidak memberikan dampak signifikan terhadap rasio penerimaan pajak," katanya.
Gigih juga menekankan potensi kecemburuan sosial akibat kebijakan penghapusan tunggakan pajak.
"Orang yang taat membayar pajak akan merasa dirugikan. Ini juga bisa menjadi bumerang karena masyarakat justru bisa menganggap pembayaran pajak tidak mendesak jika ada kemungkinan penghapusan di masa mendatang," ujarnya.
Sebagai perbandingan, ia menyebut kebijakan penghapusan denda pajak yang dilakukan Pemprov Jatim terbukti lebih efektif dalam meningkatkan penerimaan daerah.
"Setiap kali Pemprov Jatim melakukan penghapusan denda, penerimaan pajak bisa mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Ini lebih realistis dibandingkan menghapus tunggakan pajak secara keseluruhan," tuturnya.
Gigih pun mengingatkan bahwa kebijakan publik sebaiknya tidak hanya berorientasi pada popularitas, tetapi juga mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap keuangan daerah dan pelayanan masyarakat.
"Jika kebijakan seperti ini diterapkan tanpa perhitungan matang, dikhawatirkan dapat mengurangi kualitas layanan publik. Jangan sampai kebijakan yang diambil justru merugikan masyarakat luas," katanya.