Jakarta (ANTARA) - Dokter Spesialis Penyakit Dalam dari Universitas Indonesia (UI) Dr. dr. Laurentius Aswin Pramono, M.Epid, SpPD-KEMD mengimbau masyarakat untuk tidak khawatir terhadap isu paparan senyawa Bisphenol A (BPA) yang berdampak pada kesehatan tubuh.
"Jangan mengkhawatirkan sesuatu yang jauh mengawang-awang dan tidak kita pahami seutuhnya. Sementara faktor risiko yang jelas-jelas terbukti sering kita abaikan," kata Aswin dalam diskusi “BPA dan Permasalahan Metabolisme Tubuh: Fakta atau Mitos?” di Jakarta, Selasa.
Aswin menyampaikan, terdapat informasi menyesatkan terkait BPA yang sering disebut sebagai penyebab sejumlah penyakit seperti diabetes, dislipidemia, gangguan metabolisme, kanker (ovarium, prostat, dan payudara), kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah), stroke, gagal ginjal atau keracunan ginjal, keracunan otak dan organ lain, kemandulan, disfungsi ereksi, hingga kejiwaan dan kesehatan mental.
Menurut dia, hal tersebut adalah rumor yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, di mana semua penyakit di atas bukan akibat BPA.
Ia mengatakan, BPA yang dianggap terkandung dalam air minum dalam kemasan (AMDK) berbahan polikarbonat (PC), ternyata tidak terdapat dalam air minuman dalam galon air atau jumlah bahannya dapat dinyatakan tidak ada di dalam air minum kemasan atau galon.
Selain itu, tidak terjadi pencemaran secara global atau menjadi kewaspadaan kesehatan masyarakat seperti pencemaran limbah perusahaan atau plastik yang berbahaya bagi kesehatan.
Aswin menyebut, batas aman BPA adalah 4 mg/kg berat badan per hari. Sedangkan studi menunjukkan dalam air kemasan paparan BPA hanya 0,01 persen atau 1 per 10,000 yang berarti jumlahnya sangat kecil.
Selain itu, apabila terpapar secara berlebihan maka tubuh manusia bisa melakukan metabolisme setiap zat kimia dan bahan-bahan anorganik yang tanpa sengaja masuk.
Bahkan, tubuh manusia bisa melakukan perbaikan terhadap DNA sehingga bisa mencegah mutasi/karsinogen dalam tubuh.
"Sebagai analogi, BPA dalam air akan berbahaya jika kita mengonsumsi 10.000 liter air atau setara lebih dari 500 galon air minum berkapasitas 19 liter dalam sekali minum. Suatu yang mustahil," ujarnya.
Lebih lanjut Aswin menegaskan, dunia kedokteran dan kesehatan berpedoman pada pengobatan berbasis bukti (evidence based medicine).
Oleh karena itu, risiko kesehatan atau gangguan kesehatan harus berdasarkan data, di mana setiap risiko harus masuk akal dan dalam risiko konsumsi manusia yang wajar.
Ia menambahkan, perlu penelitian di lapangan atau konsumsi pada manusia agar dapat disimpulkan bahayanya bagi tubuh.
Pada akhirnya, risiko inilah yang masuk di dalam pedoman, petunjuk praktis, atau konsensus organisasi kesehatan.
"Semua produk wajib dikonsumsi dengan benar. Namun lebih jauh lagi, kita melihat bahwa produk yang sudah melintas zaman adalah bukti yang jelas di dalam kedokteran dan kesehatan masyarakat," kata Aswin.