Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyatakan bahwa Indonesia saat ini masih kekurangan guru bimbingan dan konseling (BK), yang tugasnya mampu mendeteksi perubahan perilaku peserta didik.
"Sesuai kompetensi sesuai substansinya, guru-guru BK memiliki kompetensi sejak awal sehingga memiliki kepekaan untuk deteksi perubahan perilaku," kata Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK Warsito di Jakarta, Senin.
Warsito menjelaskan, guru BK diperlukan karena memiliki peran yang vital dalam proses belajar-mengajar. Mereka memiliki kepekaan lebih tinggi ketimbang guru lainnya untuk mendeteksi suatu perubahan perilaku yang dialami peserta didiknya.
Perubahan perilaku ini bisa saja berhubungan dengan psikologis peserta didik. Karena banyak di antara mereka yang menjadi korban kekerasan, baik secara verbal, fisik, maupun kekerasan seksual, dan memilih diam ketimbang melaporkan.
Maka sebagai upaya deteksi, pencegahan, dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan, peran guru BK menjadi penting demi memutus rantai kekerasan di sekolah.
"Perlunya guru bimbingan konseling pada satuan pendidikan dasar dengan rasio jumlah siswa binaan yang proporsional," katanya.
Berdasarkan laporan yang dikemukakan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (PB ABKIN) pada 2023 lalu menyatakan kebutuhan guru BK di Indonesia mencapai 242 ribu orang.
Jumlah guru BK di Indonesia yang ada saat ini adalah sebanyak 58 ribu, baik berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun non-PNS. Sementara jumlah siswa di Indonesia dari jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK, berdasarkan data Kemendikbudristek mencapai 45 juta orang.
Apabila menggunakan asumsi rasio guru BK dan siswa, sesuai aturan yang ada maka satu Guru BK seharusnya memegang 150 siswa sehingga dibutuhkan 300 ribu Guru BK untuk 45 juta siswa.
Sebagai langkah alternatif, kata Warsito, guru mata pelajaran perlu diberikan pendidikan dan pelatihan (Diklat) agar mereka mengerti psikologis anak. Hal ini juga untuk menutup kebutuhan terhadap guru BK di sekolah.
Kemudian di samping itu, pemerintah daerah ataupun instansi pendidikan setempat juga bisa bekerja sama dengan organisasi psikologis daerah.
Ia berharap dengan mengerti psikologis peserta didik, anak-anak yang menjadi korban perundungan atau kekerasan dapat berbicara sehingga permasalahannya bisa ditindaklanjuti.
"Kita juga ingin petugas kebersihan dan kantin menjadi keluarga besar di satuan pendidikan dalam upaya pencegahan kekerasan dan perundungan. Tanggung jawab pengasuhan adalah mereka yang terlibat dalam keluarga besar di satuan pendidikan," kata Warsito.
Perubahan perilaku ini bisa saja berhubungan dengan psikologis peserta didik. Karena banyak di antara mereka yang menjadi korban kekerasan, baik secara verbal, fisik, maupun kekerasan seksual, dan memilih diam ketimbang melaporkan.
Maka sebagai upaya deteksi, pencegahan, dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan, peran guru BK menjadi penting demi memutus rantai kekerasan di sekolah.
"Perlunya guru bimbingan konseling pada satuan pendidikan dasar dengan rasio jumlah siswa binaan yang proporsional," katanya.
Berdasarkan laporan yang dikemukakan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (PB ABKIN) pada 2023 lalu menyatakan kebutuhan guru BK di Indonesia mencapai 242 ribu orang.
Jumlah guru BK di Indonesia yang ada saat ini adalah sebanyak 58 ribu, baik berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun non-PNS. Sementara jumlah siswa di Indonesia dari jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK, berdasarkan data Kemendikbudristek mencapai 45 juta orang.
Apabila menggunakan asumsi rasio guru BK dan siswa, sesuai aturan yang ada maka satu Guru BK seharusnya memegang 150 siswa sehingga dibutuhkan 300 ribu Guru BK untuk 45 juta siswa.
Sebagai langkah alternatif, kata Warsito, guru mata pelajaran perlu diberikan pendidikan dan pelatihan (Diklat) agar mereka mengerti psikologis anak. Hal ini juga untuk menutup kebutuhan terhadap guru BK di sekolah.
Kemudian di samping itu, pemerintah daerah ataupun instansi pendidikan setempat juga bisa bekerja sama dengan organisasi psikologis daerah.
Ia berharap dengan mengerti psikologis peserta didik, anak-anak yang menjadi korban perundungan atau kekerasan dapat berbicara sehingga permasalahannya bisa ditindaklanjuti.
"Kita juga ingin petugas kebersihan dan kantin menjadi keluarga besar di satuan pendidikan dalam upaya pencegahan kekerasan dan perundungan. Tanggung jawab pengasuhan adalah mereka yang terlibat dalam keluarga besar di satuan pendidikan," kata Warsito.