Probolinggo (ANTARA) - Keluarga adalah sekolah pertama bagi seorang anak, sebelum mereka belajar menjalani hidup dengan segala tantangan dan hambatannya di alam semesta.
Karena merupakan tempat pendidikan pertama, maka sudah semestinya para orang tua memahami dan menerapkan prinsip pendidikan secara universal, yakni pendidikan itu seharusnya membebaskan kita dari "relasi kuasa", termasuk kuasa orang tua terhadap anak.
Pada kenyataannya, masih banyak, bahkan hampir semua orang tua di manapun, selalu menempatkan diri sebagai sosok yang berkuasa atas anak-anaknya. Bahkan, tidak jarang orang tua menempatkan diri sebagai pemilik kebenaran atas anak-anaknya.
Dengan pola "relasi kuasa" itu, maka jangan heran jika lembaga pendidikan bernama keluarga menjadi tidak efektif sebagai sarana pengantar bagi anak-anak untuk bertumbuh dan merdeka jiwanya.
Pengampu Ilmu Kesadaran di Indonesia Aswar saat berbicara pada kegiatan halal bihalal bertema "Ragam Jenis Aku", yang diselenggarakan oleh Komunitas Ngopi Bareng di kawasan Bromo, Kabupaten Probolinggo, beberapa waktu lalu, menegaskan bahwa dalam "relasi kuasa" pasti ada "kegelapan".
Bang Aswar, panggilan akrabnya, mengutip sabda Nabi Muhammad SAW yang mengingatkan agar Umat Islam tidak meninggalkan generasi yang lemah akibat dari terus menerus dipeliharanya "relasi kuasa".
"Generasi lemah itu menjadi sasaran empuk dari mereka yang memiliki kuasa," kata lelaki asal Muna, Sulawesi Tenggara, itu.
Karena itu sangat perlu diperhatikan pola pengasuhan bagi anak dalam keluarga, yang paradigmanya harus diubah dari "relasi kuasa" menjadi saling menyayangi dan setara. Apalagi jika dilandasi dengan pemahaman bahwa di dalam setiap diri ada keilahian.
Keilahian atau ruh di dalam diri setiap orang berasal dari satu sumber yang sama, yakni Tuhan, sehingga tidak selayaknya berlaku menguasai diri yang satu atas diri yang lain, termasuk dengan mengatasnamakan orang tua pada anak.
Dengan paradigma kesetaraan itu, para orang tua juga harus menyadari bahwa setiap anak itu unik dan membawa misi hidupnya masing-masing dari pemilik kehidupan.
Dengan paradigma itu, maka "nilai tinggi" bagi seorang anak bukan pada prestasi akademik di sekolah atau di luar sekolah. Bahkan, tanpa prestasi itu sekalipun, seorang anak memiliki nilai uniknya sendiri yang harus dihormati oleh para orang tua.
Sementara itu, salah seorang mentor pembelajaran Ilmu Kesadaran di Jawa Timur, Prof Ridho Bayuaji, PhD menyatakan bahwa di dalam ajaran agama juga diingatkan mengenai "relasi kuasa", yaitu dalam Surat An Nas, ayat 2 (Malikinnaas), yang artinya "Raja manusia". Dengan berpedoman pada ayat itu, maka yang berhak menguasai (merajai) manusia hanya Allah, bukan yang lain.
Bagi guru besar Departemen Teknik Infrastruktur Sipil, Fakultas Vokasi ITS, yang juga Kaprodi Program Profesi Insinyur Sekolah Interdisiplin Manajemen dan Teknologi (SIMT) ITS itu, orang tua sekalipun tidak boleh menguasai anak. Orang tua hanya menerima titipan dari Allah berupa anak untuk diasuh, bukan untuk dikuasai.
Kalau selama ini, kita diingatkan agar anak tidak durhaka pada orang tua, sesungguhnya orang tua juga memiliki peluang durhaka terhadap anak, jika dalam pola pengasuhan menggunakan paradigma "relasi kuasa", apalagi dilakukan dengan cara semena-mena.
Karena itu, setiap orang tua harus selalu berpegang pada pedoman bahwa anak adalah titipan dari Allah untuk diasuh, sehingga dalam perjalanan berikutnya dalam kehidupan, si anak mampu menjalankan tugas kehidupan secara unik dan banyak bermanfaat bagi manusia lainnya.
Sementara itu, pada kesempatan hilal bihalal di kawasan Bromo, Bang Aswar juga menyinggung kekayaan budaya lokal yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, khususnya bahasa daerah, yang seharusnya terus dipelihara dan dilestarikan.
Bahasa lokal, bagi dia, merupakan karunia dari Tuhan untuk bangsa ini. Kalau kekayaan lokal ini ditinggalkan, maka akan menimbulkan kerusakan di masyarakat. Masyarakat akan tercerabut dari akar budaya luhurnya.
Pendidikan itu membebaskan kita dari relasi kuasa
Oleh Masuki M. Astro Rabu, 29 Mei 2024 22:28 WIB