Bondowoso (ANTARA) - MRT (69), adalah laki-laki yang dikenal di lingkungan sekitar dan keluarganya sebagai sosok serius. Bahkan, ia sangat jarang tersenyum.
Karena itu, hampir semua orang merasa segan untuk berbicara seenaknya ketika berjumpa dengan MRT, lelaki berperawakan kecil dan langsing itu.
Dengan keluarga, yakni istri dan anak-anak serta menantunya, ia juga hanya berkomunikasi seperlunya saja. Kalau tidak ada perlu, tidak ngomong.
Itu semua, dulu. Kini, lelaki yang hanya tamat sekolah dasar (SD) itu berubah total. Senyuman manis selalu tampak ketika lelaki yang tinggal di satu desa itu berjumpa dengan siapapun.
Kalau dulu, banyak orang segan untuk berkomunikasi dengan dia, kini sebaliknya. Setiap berjumpa dengan MRT, seseorang justru terpantik untuk bergurau. MRT sendiri juga sudah terbiasa membawa suasana pertemuan dengan orang lain ke ranah guyonan.
Meskipun demikian, orang-orang itu tetap menaruh hormat yang tinggi kepada lelaki yang juga tokoh di desanya itu.
Bahkan, menurut pengakuan dia, istri dan anak-anaknya kini mulai "berani" sering menggodanya untuk bergurau. Kalau dalam bahasa sosial, anak dan istrinya bisa digolongkan sebagai tindakan ngelamak.
"Jadi, kalau dulu saya merasa harus menjaga wibawa di hadapan istri dan anak-anak, sekarang sudah seperti hubungan teman saja. Sekarang, istri dan anak-anak sudah biasa ngerjain saya," kata MRT.
Tentu, relasi selayaknya teman itu bukan berarti penghormatan istri dan anak-anaknya berubah kepada MRT. Dia mengaku bersyukur dirinya mengenai ilmu kesadaran, meskipun dimulai ketika usianya sudah tidak muda lagi.
Lewat ilmu kesadaran yang diampu Bang Aswar (lelaki asal Muna, Sulawesi Tenggara, yang kini tinggal di Kota Semarang), ia memahami bahwa di dalam keluarga itu, semua anggota keluarga membutuhkan rasa damai. Bukan seolah-olah patuh kepada kepala keluarga, tapi jiwanya tertekan.
Satu keluarga terlihat seolah-olah harmonis, tapi jiwa anggota keluarganya penuh gemuruh yang tertekan untuk diekspresikan.
Kini MRT dan keluarganya mulai merasakan hidup layaknya surga karena tidak ada dari mereka yang merasa tertekan.
Kalau ada sesuatu yang tidak cocok, bukan disikapi dengan marah-marah, tapi dibicarakan secara baik-baik. Kebetulan, istri MRT, anak-anak dan menantunya juga sudah belajar Ilmu Kesadaran.
Setiap salah satu dari anggota keluarga menemukan momen yang dianggap sebagai masalah, mereka sudah biasa membahas hal tersebut dari sisi ilmu kesadaran.
Masih dengan penuh senyuman, MRT bercerita bagaimana ia mau belajar ilmu kesadaran yang diksinya banyak menggunakan bahasa Inggris.
Kebetulan, ia memiliki komunitas yang semua anggotanya diwajibkan belajar ilmu kesadaran tersebut. Ia memerlukan waktu satu tahun lebih untuk betul-betul mau belajar secara serius.
Jika awalnya belajar lewat zoom, hampir setiap hari itu hanya ikut-ikutan, bahkan ada sikap penolakan, kini MRT mulai betul-betul rajin belajar. Awalnya ia malu terhadap anak dan menantunya yang sangat rajin mengikuti pelajaran via zoom tersebut.
Anak dan menantunya sudah lebih jauh belajar dan menumbuhkan kesadaran atau level jiwanya.
Kalau sebelumnya ia merasa gengsi untuk bertanya kepada anak atau menantunya jika menemukan materi pelajaran yang tidak dimengerti, kini rasa itu sudah hilang, entah kemana.
MRT, kini merasa enjoy jika harus bertanya kepada anak atau menantunya, termasuk kepada sesama anggota komunitasnya.
Bagi dia, rasa gengsi untuk bertanya itu juga bagian dari tarikan ego. Malu bertanya itu muncul karena diri masih terjebak dalam keadaan jiwa di level 20 (shame/malu) dalam skala pengukuran level jiwa dari David Ramon Hawkins, PhD, psikiater asal Amerika Serikat yang buku dari hasil disertasinya berjudul "Power vs Force" dijadikan pegangan ilmiah dalam belajar ilmu kesadaran.
Selain terjebak di level malu, gengsi bertanya itu juga masih menunjukkan adanya keterjebakan jiwa di level 175 (pride/bangga atau sombong).
Kesombongan dari laki-laki yang secara sosial menduduki posisi sebagai kepala rumah tangga adalah merasa lebih tua dan merasa lebih banyak ilmu serta pengalaman menjalani hidup.
Karena itu, jebakan ego mengulik-ulik pikiran seorang MRT untuk memandang anggota keluarga sebagai yang tidak pantas untuk ditanyai mengenai ilmu kehidupan, bahkan tentang apapun.
Kini, MRT terus rajin menelisik apa yang dialami oleh jiwanya dalam setiap peristiwa di keseharian. Ia tidak lagi menyalahkan keadaan yang di luar dirinya. Semua yang terjadi di luar karena memang ada potensinya di dalam diri. Apa yang tampak atau menampil di luar adalah cerminan keadaan di dalam diri yang harus terus diprogresifkan.
Kalau meminjam bahasa agama, semua yang menampil di luar diri kita adalah "tajalli" Allah yang sedang memberi pesan kepada diri, mengenai posisi diri. Dalam bahasa lain, semua kejadian itu menunjukkan bahwa Allah sedang mengetuk-ngetuk hati kita untuk selalu kembali kepada-NYA.
Kini, selain kesibukannya memenuhi nafkah untuk keluarga, MRT lebih sibuk menyelam ke dalam dirinya untuk mengawasi pergerakan jiwanya, apakah hanyut dalam tarikan ego atau justru bergelayut pada kesadaran Ilahi.
Murah senyum setelah mendalami kesadaran
Kamis, 2 Januari 2025 11:58 WIB