Probolinggo (ANTARA) - Pria berperawakan sedang dan murah senyum itu tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah hingga sampai pada kondisi seperti saat ini.
Lelaki lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) jurusan mesin yang akrab disapa Cak Tem itu, kini telah sukses menjadi pengusaha pembibitan ikan lele di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.
Bahkan, lelaki bernama asli Mansur Slamet yang sudah mempekerjakan 4 karyawan itu juga sering mendapat tugas dari Dinas Peternakan dan Perikanan Pemkab Probolinggo untuk mendampingi kelompok tani lele agar usaha masyarakat itu terus berkembang.
Dari usahanya itu, Cak Tem sudah mengumpulkan keuntungan hingga ratusan juta rupiah. Dengan usahanya itu, ia tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan keluarga, melainkan juga telah melunasi tanggungan-tanggungan utang kepada orang lain.
"Saya dulu pernah bekerja sebagai tenaga mekanik di perusahaan bus, tapi karena ada pengurangan karyawan, saya kena PHK (pemutusan hubungan kerja)," kata Cak Tem, suatu sore di dekat kolam lelenya.
Setelah itu, ia bekerja serabutan, khususnya sering dipanggil ketika seseorang membutuhkan bantuan untuk memperbaiki atau membersihkan kawasan di pekarangan rumah.
Karena sudah memiliki tanggungan keluarga, maka penghasilan dari pekerjaan itu tidak mencukupi. Karena itu, kemudian ia terjebak dalam keadaan "gali lubang tutup lubang", dengan berutang kepada teman-temannya.
Bahkan, karena impitan kebutuhan menghidupi keluarga yang tidak dipenuhi, Cak Tem, dengan terus terang menceritakan pernah terlibat dalam praktik yang melanggar norma dan hukum agama.
Ia bersyukur karena suatu ketika hatinya tergerak untuk berhenti dari pekerjaan dunia hitam tersebut. Kesyukuran paling tinggi dalam hidup Cak Tem adalah bisa keluar dari dunia hitam tersebut dan kini menjadi bagian dari masyarakat sosial secara normal.
Meskipun demikian, keberuntungan tidak seketika berpihak pada dia. Cak Tem juga pernah tertipu oleh ajakan investasi bodong yang dulu sempat marak, hingga mencapai kerugian lebih dari Rp100 juta. Modal itu ia kumpulkan dari sejumlah orang, sehingga saat macet, ia harus mengembalikan modal itu dengan cara dicicil.
Budi daya lele
Cak Tem bersyukur, suatu ketika, sebelum pandemi COVID-19 melanda dunia dan Indonesia, tiba-tiba dihubungi temannya dari Kota Muna, Sulawesi Tenggara, untuk diajak belajar budi daya ikan lele.
Kala itu, ia sangat terkejut, karena bukan hanya diajak belajar, tapi sudah dibelikan tiket pesawat untuk pergi dari Bandara Juanda ke Kabupaten Muna di Sulawesi Tenggara, termasuk tiket untuk kembali ke Bandara Juanda (Surabaya) dan lanjut ke Probolinggo.
Selama beberapa hari Cak Tem tinggal di rumah temannya itu untuk belajar budi daya lele. Setelah dirasa cukup menguasai ilmu tentang beternak lele, ia kemudian pulang.
Sesampai di rumah, ia masih bingung karena tidak punya modal untuk mengembangkan usaha tersebut.
Akhirnya, teman, sekaligus mentor hidupnya, yakni Prof Ridho Bayuaji, yang juga guru besar teknik sipil di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, meminta bantuan Cak Tem mengelola usaha ternak lele milik orang tuanya yang tinggal satu kabupaten dengan Cak Tem.
Dari usaha milik orang tua mentornya itu, dia merasa bisa menerapkan ilmu yang telah didapatkannya dari belajar di Kota Muna.
Untuk menambah penghasilan, ia juga dibuatkan usaha permainan atau play station (PS) oleh orang tua Prof Ridho.
Kehidupan terus berjalan. Kebutuhan keluarga Cak Tem, juga bertambahnya anak, termasuk untuk keperluan biaya pendidikan mereka rupanya tidak bisa dicukupi dengan hanya bekerja pada orang lain.
Suatu ketika, Prof Ridho mengenalkan Cak Tem pada Ilmu Kesadaran yang diampu oleh Bang Aswar di Kota Semarang. Dengan keahlian mengemudikan mobil, ia sering diajak oleh keluarga Prof Ridho ke Kota Semarang untuk belajar Ilmu Kesadaran.
Awalnya, ia merasa jiwanya tidak nyaman belajar ilmu tersebut. Seperti ada ketakutan luar biasa di luar nalar, sehingga seringkali ia ingin pulang sendiri dengan naik bus dari Semarang ke Surabaya. Rupanya, ego yang selama ini ia genggam dalam dirinya tidak nyaman dengan pemahaman baru mengenai kehidupan itu.
Ego yang menyelimuti Cak Tem merasa terancam, sehingga jiwanya merespons dengan rasa tidak nyaman dan penuh ketakutan. Beruntunglah Prof Ridho selalu mendorongnya dengan telaten untuk terus belajar demi masa depan yang lebih baik.
Setelah beberapa kali ke Semarang, level kesadaran (LoC) Cak Tem terus meningkat dan bisa merilis kembali kejadian yang dialaminya di masa lalu. Meskipun demikian, secara finansial, ia belum merasakan perubahan pada dirinya.
Ia terus mempertanyakan pelajaran yang didapat dari Ilmu Kesadaran bahwa diri kita sesungguhnya adalah potensi tak terbatas yang selama ini belum pernah digali secara maksimal.
Akhirnya ia menemukan kembali usaha beternak lele yang pernah ia geluti beberapa tahun sebelumnya. Kala itu, ia dihubungi oleh Dinas Perikanan Pemkab Probolinggo untuk menerima tawaran kerja sama pembibitan lele yang hasilnya kemudian disebarkan kepada para kelompok ternak.'
Bersamaan dengan kenaikan "level of consciousness" (LoC) itu, ketenangan hidup dan kebahagiaan Cak Tem meningkat. Setelah itu, rezeki semakin lancar, sesuai yang dijanjikan oleh Allah dalam ajaran agama, yakni datang dari segala arah dan dari sumber yang tidak pernah diduga.
Semakin hari, usaha beternak lele yang dijalankan oleh Cak Tem tidak lagi terjebak dalam azaz perolehan (untung berapa), melainkan bertumpu pada nilai kemanfaatan dan pelayanan terhadap pihak lain. Nilai pelayanan itu sesungguhnya adalah peragaan dari sifat-sifat Tuhan di Bumi. Dengan kesadaran itu, maka tidak ada beban dalam mengerjakan sesuatu, kecuali dengan selalu rasa riang gembira.
Menurut Cak Tem, setelah belajar kesadaran dan LoC semakin tinggi, bukan berarti masalah itu tidak ada. Masalah tetap ada, akan tetapi kita bisa melampaui masalah itu dengan rasa yang netral.
"Pada akhirnya, semua yang terjadi, rasa sedih dan bahagia, rasa susah dan rasa senang itu adalah af'al-nya (perbuatan) Allah SWT. Kalau kita ikuti alur-NYA, itu akan terasa indah dan pasti terlihat hasilnya secara kasat mata," katanya.
Pada level kesadaran (LoC) di atas 500, kita lebih banyak hening dan mengecek ke dalam diri, karena tidak ada yang bisa mengerti tentang diri kita selain diri kita sendiri
Sementara itu, Prof Ridho Bayuaji mengemukakan bahwa senyatanya, memang begitulah manusia. Setiap diri hadir ke alam semesta ini memang membawa potensi unik diri. Hal itu memang harus digali secara serius dengan cara selalu menyelam ke dalam diri secara serius dan terus menerus.