Bondowoso (ANTARA) - Di daerah tertentu, masyarakat menempatkan posisi tokoh agama sebagai sosok sentral dan sangat dihormati.
Meskipun sangat dihormati, tidak semua tokoh agama itu bisa menikmati pemosisian dihormati tersebut. SH, salah satu tokoh agama yang tidak mampu menikmati penghormatan tersebut, apalagi dengan wujud yang berlebihan, karena ada hak-hak pribadi si tokoh yang terasa dirampas dalam konteks relasi sosial tersebut.
Di desa tempat SH tinggal, termasuk di wilayah budaya serumpun dengan itu, seorang tokoh agama harus tampil dengan sempurna, tanpa ada cacat sedikitpun.
SH tidak nyaman dengan harapan melambung dan tidak realistis dari masyarakatnya tersebut. Bagaimanapun tokoh agama itu adalah manusia biasa yang di dalam dirinya tidak melekat sifat maksum, seperti sifat Rasulullah Muhammad Saw.
Salah satu hal yang membuat SH tidak nyaman dengan status sosial sebagai tokoh agama itu terkait hobinya, yakni suka menyanyi.
Bagi masyarakat di lingkungan SH tinggal, tokoh agama semacam dia "dilarang" untuk bernyanyi. Bahasa sederhananya, tidak pantas seorang kiai itu bernyanyi, apalagi di depan banyak orang, dengan menggunakan alat pelantang suara.
Bernyanyi hanya pantas dilakukan oleh orang kebanyakan. Karena itu, jika ada seseorang dengan status kiai suka menyanyi di lingkungan masyarakat, maka akan menjadi bahan pergunjingan yang empuk, gurih, dan renyah.
Selama ini, SH dengan terpaksa mengikuti kehendak kolektif masyarakatnya itu, meskipun ia tidak setuju dengan penghakiman bahwa menyanyi itu tidak baik.
"Bagi saya, justru ada pertanyaan, apanya yang jelek? Menyanyi itu kan justru menghibur orang lain," kata SH, menceritakan perenungannya.
Sejak beberapa tahun silam, SH bersama komunitas yang dia ikuti, belajar mengenai Ilmu Kesadaran yang diampu oleh Bang Aswar, asal Muna, Sulawesi Tenggara, yang kini tinggal di Semarang.
Dalam pembelajaran itu banyak mengupas mengenai lapisan-lapisan jiwa seseorang dan sangat berkolerasi dengan upaya pembersihannya, yang di ilmu tasawuf dikenal sebagai "tazkiyatun nafs".
Dalam perjalanan belajar ilmu itu, yang kesehariannya diikuti oleh SH secara online menggunakan sarana zoom, SH mengenali posisi atau maqom jiwanya yang umumnya masih terjebak dalam kungkungan hukum sosial. Secara kolektif, hukum sosial itu terkesan seolah-olah benar dan sudah tidak bisa diutak-atik.
Pada pembelajaran itu, ia mulai menemukan jiwanya masih terjebak di kepalsuan-kepalsuan sikap yang seharusnya berani dilampaui agar kualitas jiwanya terus bertumbuh.
Secara bersamaan, ia juga menemukan jiwanya sedang meronta-ronta ingin bernyanyi. Kontradiksi ini berperang dalam diri SH. Dari pengalaman jiwanya itu ia kemudian menemukan posisi sebenarnya dari jiwa dia, termasuk jiwa mayoritas masyarakatnya yang terjebak dalam kesantunan palsu.
Tidak hendak menuduh, apalagi menghakimi orang lain, ia menyadari betul bahwa jiwanya harus keluar dari kesantunan palsu itu, apapun risikonya.
Akhirnya, ia memilih kompromi dengan bernyanyi menggunakan telepon seluler pintar di dalam rumahnya, yang kemudian direkam serta diunggah di media sosial.
Ia tidak memedulikan komentar-komentar orang atau temannya di medsos, ketika mendapati SH terus menampilkan dirinya sedang bernyanyi.
Satu hal yang pasti, ia merasakan jiwanya lebih merdeka dengan menyalurkan hobi menyanyinya itu. Pada momentum tertentu, ia juga biasa bernyanyi dengan menggunakan pelantang suara ketika ada hajatan di desanya, terlebih jika dirinya menjadi tuan rumah kegiatan tersebut.
Semakin merdeka jiwanya dari takut pada penilaian masyarakat, ternyata melampaui kesantunan palsu itu justru aman-aman saja. Kini, tidak pernah ada masyarakat yang protes atas kesukaan SH bernyanyi.
Bahkan, ia merasakan penilaian masyarakat terhadap dirinya tidak berubah. Ia masih sering diundang untuk mengisi pengajian atau kegiatan lain terkait keagamaan. Kebiasaan SH menyanyi tidak membuat masyarakat enggan untuk melibatkan dia dalam kegiatan keagamaan.
Ia berkesimpulan bahwa kesantunan palsu itu ternyata hanya berupa ketakutan di dalam diri. Setelah ketakutan tidak dihormati orang itu mampu dilampaui, hasilnya tidak ada masalah apapun.
Sering kali ketakutan pada penilaian sosial hanya bersumber dari prasangka (dzon) diri terhadap orang lain yang kurang baik.
Secara sosial, kebiasaan SH bernyanyi di depan umum itu tidak mengurangi penghormatan masyarakat terhadap dirinya sebagai tokoh agama. Kini, ia malah lebih sering diundang oleh masyarakat untuk mengisi kegiatan-kegiatan agama, termasuk acara pernikahan atau kegiatan selamatan.
Secara berseloroh, ia mengungkapkan bahwa dirinya, kini, justru semakin "laris" menerima undangan.
Selain itu, menurut SH, dunia hiburan biasanya identik dengan mereka yang jauh dari agama. Dia berpikir bahwa kalau dunia kesenian itu semakin dijauhi oleh mereka yang paham agama, justru fakta demikian itu membahayakan.
Dengan semakin didekati dan diselami, insan yang memahami agama bisa masuk ke dunia mereka, sehingga masyarakat semakin terbuka bahwa kesenian bukan sesuatu yang harus dijauhi, apalagi selalu dicap negatif.
Bahkan, Sunan Kalijaga, dulu justru masuk ke wilayah yang sudah jelas-jelas "hitam", seperti orang yang senang mengadu ayam. Sunan Kalijaga berbaur dan ikut beradu ayam dengan mereka.
Ketika secara psikologis sudah sangat dekat, Sunan Kalijaga, dengan sangat mudah memasukkan nilai-nilai spiritualitas dan agama kepada masyarakat.
Sementara dunia kesenian, khususnya menyanyi, adalah budaya yang tidak sepenuhnya negatif, melebihi dari kesan dan prasangka masyarakat terhadap dunia adu suara merdu itu.
Sebaliknya, pada nyanyian itu justru banyak masyarakat yang menikmatinya secara diam-diam. Mungkin juga penikmat itu adalah mereka yang secara sosial memberi penilaian negatif.
Kini, SH juga menemukan pengalaman jiwa bahwa menyanyi tidak bisa dihakimi sebagai ajang yang menjauhkan seseorang dengan Allah.
Bagaimana dengan sikap istri mendapati suaminya yang kiai ini justru suka menyalurkan hobinya bernyanyi?
"Alhamdulillah, sejauh ini, istri saya tidak pernah komplain terkait masalah ini. Bagi istri saya, yang penting saya tidak menikah lagi. Ha haa," ujar SH, mengakhiri kisahnya.
Keluar dari jebakan kesantunan palsu
Senin, 16 Desember 2024 8:08 WIB