Kediri - Seorang perajin senapan angin dari Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri mengeluhkan adanya pemalsuan hak merek produksi mereka, hingga berdampak pada turunnya omzet karena harga jual yang lebih murah. Moch Susin, salah seorang perajin senapan angin di Pare, Kamis, mengemukakan pemalsuan itu sudah berlangsung cukup lama. Sejumlah merek yang diproduksinya ternyata ditiru oleh perusahaan lain. "Mereka meniru desain. Dengan model yang hampir sama, ternyata harganya cukup bersaing, dijual lebih murah," kata Direktur CV Bima Sakti ini. Ia menyebut, aksi itu bukan hanya dilakukan oleh perusahaan di wilayah kabupaten saja, tapi ada juga dari sejumlah perusahaan lain di luar daerah. Padahal, ia sudah mendaftarkan hak mereknya kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mendapatkan sertifikat merek. Ia mempunyai tiga merek untuk produksinya, yaitu Benjamin, Benyamin, dan Shapto. Dari tiga merek itu, semuanya dipalsu. Padahal, untuk mendapatkan sertifikat tersebut tidak mudah, karena harus melalui tahapan-tahapan yang cukup rumit. Susin menyebut, untuk harga jual produknya, paling murah dijual dengan harga Rp285 ribu untuk merek Benjamin, dan paling mahal dijual dengan harga Rp2,75 juta per senapan angin. "Antara senapan dari produksi kami dengan perusaaan lain ada selisih, hingga Rp50 ribu per senapan. Nominal itu tentunya cukup tinggi jika dihitung total produksi," paparnya. Ia menyebut, dalam satu bulan mampu memproduksi senapan angin angin hingga 300 senapan dengan tujuan pengiriman seluruh Indonesia, seperti Surabaya, Kalimantan, dan sejumlah daerah lainnya. Omzet dari produksi tersebut sekitar Rp120 juta per bulan. Dengan adanya pemalsuan hak merek, omzet itu tentunya berkurang. Dampaknya, bukan hanya pengurangan pada jumlah pekerja, di mana saat ini hanya mampu mempekerjakan sekitar 20 karyawan saja, padahal dulu pekerjanya lebih dari itu. Selain karena maraknya pemalsuan hak merek, Susin juga menyebut Pemerintah Kabupaten Kediri juga kurang peka dengan perkembangan kerajinan ini. Padahal, potensi kerajinan ini cukup tinggi, dan bisa mengurangi pengangguran. Tidak adanya media promosi dan kurang perhatian pemerintah untuk membuka akses jaringan, membuat usaha turun temurun ini terancam sepi peminat. Terlebih lagi, keputusan pemerintah yang membuat Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Perlindungan Satwa Burung dan Pemasangan Papan Larangan Menembak Burung cukup berpengaruh. Harusnya, jika ada aturan larangan tersebut, pemerintah mencarikan media, agar usaha para perajin senapan angin ini tidak gulung tikar. "Kami pahami aturan itu, tapi, dengan aturan itu, harusnya ada alternatif," ujarnya. Ia berharap, pemerintah lebih perhatian dan memberikan akses untuk meluaskan usahanya. Jumlah perajin senapan angin di kabupaten sebenarnya cukup banyak, hingga 40 pengusaha. Namun, usaha itu terus berkurang, karena mahalnya bahab baku untuk produksi dan minimnya akses untuk menjual produknya. Saat ini, harga bahan baku yaitu untuk logam kuningan hingga Rp50 ribu perkilogram, sementara harga kayu untuk popor atau tangkai senapan juga mengalami kenaikan dari semula hanya Rp12 ribu per biji menjadi Rp13 ribu per biji. Itu belum ditambah dengan logam untuk senjata yang harganya per lonjor hingga Rp500 ribu. Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kabupaten Kediri, Edhi Purwanto mengaku hingga kini belum pernah menerima laporan aduan tentang pemalsuan hak merek dari para pengusaha senapan angin.(*)
Seorang Perajin Senapan Angin Keluhkan Pemalsuan Merek
Kamis, 1 Desember 2011 17:20 WIB