Bondowoso (ANTARA) - Suatu pagi, Ruksin terantuk pada perenungan mendalam mengenai pesan gurunya bahwa sifat dan perilaku anak adalah cerminan dari diri atau jiwa orang tua.
Ruksin, bukan nama sebenarnya, baru saja memandikan anaknya yang masih kelas 1 sekolah dasar. Ruksin merasa sudah memperlakukan si bungsu itu dengan lembut, tapi si bungsu malah marah-marah karena busa sabun di tangan Ruksin mengenai kelopak mata anaknya hingga terasa perih.
Ruksin hampir tersulut emosi dan ikut marah. Singgasana "relasi kuasa" yang telah diiikhtiari untuk diruntuhkan seolah bangkit kembali dengan menumpahkan rasa marah pada si anak.
Beruntung, ia segera teringat kembali pesan gurunya mengenai anak sebagai cermin orang tua. Pagi itu bukan pengakuan kebenaran atas petuah gurunya itu, melainkan pertanyaan, "Cermin apa, kalau seperti ini?"
Pikirannya terarus pada pengalaman masa kecil, yang ia selalu menjadi anak manis, penurut, dan tidak pernah membantah orang tuanya. Lalu, sikap si bungsu yang marah tadi cermin dari mana? Begitulah pikirannya memberontak.
Baca juga: Pimpinan DPRD Surabaya: Guru berperan bangun pondasi pendidikan
Pikiran Ruksin tidak mampu mencerna. Ia memilih duduk, dan meminta tolong istrinya untuk melanjutkan menyiapkan si bungsu pergi ke sekolah.
Pikirannya rileks, kemudian ia mendapat pemahaman baru bahwa cermin tidak selalu sama persis. Bukankah kalau kita menghadapkan wajah ke cermin, bagian-bagian di bagian kiri tidak berada di kiri saat di cermin, melainkan "berpindah" ke kanan, demikian juga dengan bagian tubuh yang kanan.
Ruksin kemudian sadar bahwa sikap si bungsu tadi mewakili ekspresi dirinya yang di masa kecil tidak pernah berani membantah orang tua. Ia kemudian bergumam sangat lirih, "Terima kasih anakku telah mewakili ayah mengekspresikan rasa yang selama ini ayah tekan karena tidak berani."
Cerita di atas bukan untuk melegitimasi bahwa anak harus membantah kepada orang tuanya.
Kisah lain adalah tentang ketabahan seorang ibu, sebutlah Sri, dengan anugerah anak bungsu yang mengidap down sindrome dari sejak lahir.
Tentu saja Sri dan suami tidak langsung berada pada fase penerimaan tanpa syarat atas kenyataan itu. Ia juga terantuk pada pertanyaan-pertanyaan mendalam mengapa dikaruniai anak yang selamanya tidak akan bisa mandiri.
Bahkan, Sri sempat bertanya apa dosa dia dan suami sehingga Allah memberikan "hukuman" dengan diberi anak yang dianggap menjadi beban.
Sampai suatu ketika ia mendapat pencerahan bahwa tidak semua orang mendapatkan "kepercayaan istimewa" dari Allah untuk merawat buah hati yang berkebutuhan khusus.
Pelan-pelan Sri mulai masuk pada maqam jiwa yang menerima keadaan itu secara apa adanya.
Pelajaran sama yang mesti dilalui oleh Ruksin dan Sri adalah tentang kesabaran. Ruksin harus sabar membersamai anaknya yang marah-marah, sedangkan Sri belajar sabar membersamai makhluk Allah yang tidak sempurna fisik dan jiwanya itu.
Ruksin dan Sri sampai pada kesimpulan bahwa anak-anak mereka adalah guru yang dihadirkan Allah untuk keduanya belajar tidak gresulo atau mengeluh pada keadaan seperti apa pun.
Untuk sampai pada kesadaran seperti yang dialami oleh Ruksin dan Sri, memang memerlukan kontemplasi terus menerus sebagai orang tua.
Kesadaran semacam itu akan sulit dicapai jika orang tua masih terjebak dalam pola "relasi kuasa" dengan anak. Dalam relasi kuasa, anak harus selalu menurut pada orang tua sehingga semua titah orang tua harus diikuti oleh anak.
Dalam rangka menyempurnakan relasi itu, kekerasan sikap orang tua terhadap anak agar si anak nurut biasanya menjadi pilihan utama, dan seolah-olah hal itu adalah kebenaran yang tidak menyisakan masalah.
Padahal pola pendidikan dengan kekerasan itu ibarat orang tua sedang menyemai bibit masalah yang kelak akan dipanen oleh si anak. Boleh jadi si orang tua juga akan menikmati hasil panen itu di masa sepuh dan renta. Misalnya, anak akan mengembalikan pola relasi kuasa dengan posisi bertukar, anak menjadi orang tua dan si orang tua menjadi anak yang tidak berdaya.
Pola relasi kuasa orang tua terhadap anak itu tergolong tidak bagus bagi perkembangan jiwa anak karena dia belajar meniru kekerasan yang diterimanya untuk diduplikasi dalam ruang dan waktu kehidupan yang lain.
Selain itu, saat menerapkan relasi kuasa, si orang tua telah terjebak pada pengingkaran bahwa anak adalah amanah alias titipan Tuhan. Sebagai penerima titipan, sudah seharusnya kita memperlakukan titipan itu dengan penuh kasih dan sayang, bukan penuh emosi dan pemaksaan.
Ketika mendapati anak menjadi sosok yang dianggap nakal, orang tua lupa bahwa sosok itu adalah buah dari pola pengasuhan yang telah dipilih orang tua. Dalam konsep "tabur tuai", anak yang baik atau buruk adalah buah dari apa yang orang tua tabur atau semai.
Kalau ada anak membangkang, bahkan marah kepada orang tua, boleh jadi orang tua selama ini telah banyak mengajarkan sikap maunya sendiri dan suka memaksakan kehendak kepada anak. Begitulah anak belajar bersikap dan berperilaku dari orang tuanya.
Lagi-lagi orang tua bisa belajar pada dan dari anak-anaknya. Hal pertama adalah bahwa tidak ada anak yang harus sama persis dengan yang orang tua inginkan, apalagi jika keinginan itu bersumber dan digerakkan oleh ego.
Kita belajar penerimaan atau cinta tanpa syarat dari anak-anak kita. Dari anak kita belajar bahwa Tuhan pun menunjukkan cinta tanpa syarat kepada seluruh makhluknya. Dari anak kita berguru tentang sabar terhadap semua keadaan. Dari anak kita berguru tentang disiplin, misalnya, setiap pagi menyiapkan semua keperluan untuk sekolah. Dari anak kita berguru mengenai tanggung jawab besar untuk nafkah fisik dan jiwanya.
Terima kasih anak-anak, sekaligus guru. Maafkan orang tua yang selama ini tidak menjadi murid yang baik, bahkan mungkin tidak pernah menyadari maqam kemuridan. Selamat Hari Guru.
Berguru kepada anak
Sabtu, 25 November 2023 12:42 WIB