Probolinggo (ANTARA) - Fatwa Resolusi jihad pertama kali diputuskan dalam rapat besar konsul NU se-Jawa dan Madura pada 21-22 Oktober 1945 di Surabaya, Jawa Timur. Melalui musyawarah dan kesepakatan seluruh ulama NU yang hadir di pertemuan tersebut disepakatilah beberapa poin fatwa "jihad" umat Islam.
Diserukannya resolusi jihad tersebut direspons positif seluruh umat islam di tanah Jawa-Madura, termasuk laskar-laskar Islam, seperti Hizbullah yang dikomandoi oleh putra Hadratusyyaikh KH Hasyim Asy’ari, yaitu KH Yusuf Hasyim dan KH Khaliq Hasyim.
Umat Islam tergerak berangkat tak gentar dengan kematian yang setiap saat bisa menimpa mereka. Predikat mati syahid disematkan bagi mereka yang mati mempertahankan agama dan bangsanya dalam peperangan melawan penjajah NICA.
Fatwa Resolusi Jihad-lah yang menjadi "ruh" ribuan pejuang laskar dan santri bergerak dalam peristiwa 10 November 1945 di Kota Pahlawan itu. Tidak hanya itu, resolusi jihad juga mendorong perjuangan kemerdekaan, hingga empat tahun kemudian. Kegiatan gerilya pasukan laskar juga membuat sekutu menerima perundingan dan diplomasi.
Isi pesan dari Resolusi Jihad sangat jelas dan tegas. Hanya saja, dalam penafsirannya, terutama melalui penyebaran secara lisan, kadang-kadang memperoleh tekanan yang lebih luas dan keras, seperti fatwa kewajiban bagi setiap laki-laki (fardhu ain) Muslim untuk ikut berperang dalam jarak radius 94 km di lingkungannya untuk berjuang.
Resolusi Jihad juga mengirimkan sinyal bahwa Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dan segenap ulama, santri, serta Muslim Indonesia sangat teguh mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan meyakinkan kalangan nasionalis bahwa nilai-nilai Islam sejalan dengan ideologi Pancasila.
Resolusi Jihad adalah menjadi bukti kontribusi NU, kiai, dan santri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dalam perjalannya setelah itu, santri dan kiai banyak memberikan warna tersendiri bagi sejarah perjalanan bangsa ini hingga sekarang. Kita berharap cerita di atas tak hanya menjadi pengatar bobok yang disampaikan orang tua kepada puteranya.
Semua masyarakat NU membincang kegiatan-kegiatan yang akan digelar untuk meramaikan hari bersejarah, yaitu Hari Santri Nasional (HSN) yang akan jatuh saban 22 Oktober. Bagi masyarakat NU, ini adalah hadiah negara bagi pejuang-ulama-santri dan pesantren. Tentu hadiah ini merupakan buah manis yang didapat oleh mereka yang ikut memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dari agresi penjajah.
Berbicara Resolusi Jihad tak akan terlepas dari santri dan pesantren. Pesantren, dalam hal ini telah mendoktrin masayarakat pesantren (santri), sehingga memiliki "ruhul jihad" yang tinggi. Tanpa ada upaya yang serius dari pesantren tak akan tercipta santri patriotik, seperti KH Hasyim Asy’ari.
Belajar di pesantren tidak melulu mengisi otak dengan berbagai disiplin ilmu, namun lebih dari itu, para kiai mengisi jiwa para murid-muridnya dengan semangat pengabdian dan ketulusan yang tak terangkakan. Keikhlasan kiai dalam membimbing santri-santri telah berhasil membawa semangat perubahan pada pribadi santri. Santri pun dengan sikap "sami’na wa atho’na" (patuh) pada kiainya terbangun kekuatan yang tidak bisa ditandingi oleh dsemangat apapun.
Resolusi Jihad itu sebagai bukti pula bahwa santri tidak hanya menekuti belajar di pojok-pojok asrama dan di teras masjid untuk memperkaya wawasan keilmuan. Lebih dari itu adalah menjadi bukti bahwa pesantren mengajarkan betapa pentingnya bagi santri untuk memiliki sikap nasionalisme dan patriotisme.
Terbukti dengan adanya perlawanan oleh kaum santri terhadap penjajah untuk mempertahankan kemerdekaan, yang pada akhirnya kemenangan berpihak pada santri, dan seterusnya hari bersejarah itu disebut Hari Santri Nasional. Dengan hadirnya HSN sebagai hadiah serasa sangat kurang bila hanya diisi dengan pelaksanaan upacara-upacara yang bersifat seremonial.
Perjuangan para ulama dan pejuang bangsa perlu ditanamkan dari generasi ke generasi dengan menceritakan sepak terjangnya dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme yang kala itu menduduki Bumi Nusantara.
Spirit yang terjadi pada masa Resolusi Jihad harus menjiwai setiap anak bangsa, guna memupuk semangat jihadis yang barang tentu harus sesuai dengan ajaran-ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Jihad dimaknai bukan hanya angkat senjata untuk berperang, karena makna jihad harus dikontekstualisasikan dengan kondisi saat ini dan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Setidaknya berjuang melalui pendidikan, ekonomi, sosial kemasyarakatan adalah bagian jihad yang layak untuk dilakukan. Hal itu tidaklah mudah, namun bukan tidak bisa diwujudkan. Resolusi Jihad para ulama harus menjadi spirit menuju perubahan sosial masyarakat. Kalau menilik ke belakang, perjuangan ulama di kala itu sangat tidak masuk akal untuk dapat menang dalam melawan serta mempertahakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Justru spirit yang berpijak pada nilai-nilai agama itu mampu menembus tembok-tembok ketakutan dan dapat menghadirkan kekuatan-kekuatan.
Dalam konteks kikinian, peringatan Hari Santri Nasional perlu direkontruksi, sehingga peranyaannya dapat menumbuhkembangkan segala potensi santri dan pesantren agar dapat menciptakan masyarakat madani.
Cendekiawan Muslim terkemuka, rof Dr Nurcholis Majid (Cak Nur) mengemukakan masyarakat madani akan sangat mudah diwujudkan oleh santri dan pesantren. Kata Cak Nur, santri dan pesantren memiliki tradisi intelektual dengan basik kitab kuning dan memiliki sikaf akomodatif terhadap modernitas atau kemajuan. Bila masyarakat memiliki keduanya, itulah ciri masyarakat madani.
*) Ponirin Mika adalah Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton dan anggota "Critical of Social Research" Probolinggo