Surabaya (ANTARA) - Sejarah bangsa kita sering kali seperti "Dunia yang Hilang." Banyak peristiwa bersejarah tidak memiliki jejak faktual, baik berupa dokumen, manuskrip, situs, maupun keterangan tertulis dari pelaku atau keluarga terdekat mereka.
Padahal, keberadaan jejak sejarah sangat penting untuk memastikan bahwa generasi mendatang, generasi milenial, generasi Z dan Alpha, tidak terputus dengan generasi terdahulu yang merintis, meletakkan pondasi, atau membuat sejarah.
Masalah utama yang sering dihadapi adalah kurangnya dokumentasi sejarah, terutama karena para pelaku sejarah sering kali bertindak dengan penuh keikhlasan tanpa meninggalkan jejak yang cukup. Oleh karena itu, upaya penelusuran dan pendokumentasian sejarah menjadi semakin penting.
Generasi Z, yang dikenal lebih menonjolkan aspek emosi, memerlukan sejarah untuk membangkitkan semangat, motivasi, dan keterhubungan dengan masa lalu. Melalui sejarah, generasi ini dapat belajar dari pengalaman, mendapatkan teladan, dan menemukan panduan untuk melangkah di masa depan.
Namun, tantangan yang dihadapi dalam menelusuri sejarah tidaklah sederhana, terutama mengingat jarak waktu yang cukup panjang dan kurangnya bukti fisik maupun non-fisik yang memadai.
Kendati demikian, penelusuran sejarah akan menjadikan Generasi Z memiliki "dokumentasi" dari masa lalu untuk dijadikan pembelajaran, teladan, dan rujukan untuk "pedoman atau panduan" dalam melangkah sekaligus membuat sejarah selanjutnya.
Harus diakui, sejarah yang membentang bagi Generasi Z itu juga bukan hal yang mudah untuk ditelusuri, mengingat minimnya jejak yang tertinggal dari para leluhur yang sangat ikhlas dalam mengisi perjuangan kemerdekaan dan menapaki jejak kebangsaan.
Ya, penelusuran sejarah memang tidak mudah, karena jarak waktu yang ratusan tahun atau bahkan lebih akan menjadi kendala dalam menyajikan fakta atau kejadian masa lalu secara akurat, bukan dongeng, mitos, legenda atau "jare" (bahasa Jawa untuk menggambarkan ungkapan 'katanya').
Jadi, keberadaan sejarah itu penting bagi Generasi Z, paling tidak untuk dua manfaat yakni menjadi rujukan dan pembelajaran serta panduan dan suri tauladan, namun sejarah yang hilang karena keikhlasan pelaku sejarah (ikhlas tanpa ekspose) tetap penting ditelusuri agar sejarah tidak sebenar-benarnya hilang.
Salah satu contoh sejarah penting yang kurang terdokumentasikan adalah Pertempuran 10 November 1945. Meskipun ada sejumlah pelaku sejarah yang menulis buku atau berbagi kisah, mayoritas peristiwa tersebut hanya tercatat secara lisan, sering kali tanpa dukungan data konkret, atau hanya sebagian sejarah.
Bahkan, ada sejumlah keterangan terkait pertempuran itu yang justru berkembang dalam banyak versi, sehingga ada sebagian cerita justru dianggap dongeng, karena hanya cerita dari mulut ke mulut yang tak didukung data, atau sering disebut Arek-Arek Suroboyo dengan istilah "ngedabrus" (asal bicara saja).
Untuk akurasi jejak sejarah, maka proses dokumentasi sejarah harus memenuhi dua bukti minimal yakni bukti fisik (dokumen, manuskrip, situs atau cagar) dan bukti non-fisik (keterangan dan atau cerita pelaku sejarah).
Untuk keterangan pelaku sejarah pun hendaknya dari sumber "terdekat" dengan pelaku sejarah, misalnya isteri, anak, kemenakan, cucu, dan bukan teman atau pihak lain.
Sejarah yang Hilang
Dalam diskusi "Kupas Tuntas Peristiwa 10 November" oleh LKBN ANTARA Biro Jatim terungkap fakta-fakta yang sesungguhnya terjadi seputar tahun 1945 bahwa "perlawanan" Arek-Arek Surabaya terhadap Tentara Sekutu yang dipimpin Inggris itu bukan hanya sekali, tapi dua kali pertempuran.
Dua kali pertempuran adalah Pertempuran 27-29 Oktober 1945 (tiga hari) dan Pertempuran 10 November 1945 (3-4 minggu).
Tidak hanya itu, dua pertempuran itu pun dipicu tiga "provokasi" perlawanan Arek-Arek Surabaya yang merepotkan Sekutu yang datang ke Surabaya pada 24 Oktober 1945 dengan "diboncengi" Netherlands Indies Civil Administration (NICA/Belanda) untuk menjajah lagi.
"Tiga 'provokasi' adalah perobekan bendera merah-putih-biru (19 September 1945), Resolusi Jihad (22 Oktober 1945), dan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby (30 Oktober 1945)," kata Ketua LVRI Surabaya Hartoyik, yang juga anggota Laskar Hizbullah yang dipimpin KH Wahid Hasyim dan berjuang sejak November 1945 hingga 27 Desember 1949.
Saat tentara NICA datang lagi dengan membonceng pasukan Sekutu untuk menjajah kembali, mereka mengibarkan Bendera Merah-Putih-Biru di Hotel Orange (saat ini, Hotel Majapahit) pada 18 September 1945 pukul 21.00 WIB.
Menyaksikan hal itu, Arek-Arek Suroboyo pun langsung melawan dengan melakukan Perobekan Bendera Merah-Putih-Biru pada 19 September 1945 menjadi dwi-warna (Merah-Putih), karena pengibaran bendera tri-warna adalah penghinaan. Inilah provokasi pertama yang memicu pertempuran.
Nah, soal pelaku perobekan bendera itu tidak jelas orangnya, namun berdasarkan foto yang dibidik Abdul Wahab dari Kantor Berita Domei (LKBN ANTARA Biro Surabaya) tercatat jumlah pelaku perobekan di atap hotel ada empat orang, namun nama keempat pelaku itu banyak versi.
Yang jelas, empat pelaku adalah Arek Suroboyo. "Saya tidak tahu langsung perobekan itu, karena saya datang sudah terjadi perobekan tersebut. Yang jelas, pelaku perobekan itu adalah Arek-Arek Suroboyo, karena saya datang sudah banyak arek-arek dari beberapa kampung di lokasi," tutur Hartoyik.
Fakta "provokasi" kedua dan ketiga yang memicu Pertempuran 10 November 1945 adalah Resolusi Jihad (22 Oktober 1945) dan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby (30 Oktober 1945), namun fakta "Resolusi Jihad" itu tidak seperti fakta perobekan bendera merah-putih-biru (19 September 1945), karena faktanya sempat diragukan atau dianggap fiktif.
Pada akhir 2011, sejarawan Prof Aminuddin Kasdi dalam seminar di Tebuireng menyebut Resolusi Jihad itu tidak ada atau tidak pernah ada melainkan hanya sebuah legenda. Faktanya, soal resolusi itu memang tidak ada dalam mata pelajaran Sejarah Indonesia di SMP/SMA.
Hal itu mengagetkan almarhum Dr (HC) Ir KH Sholahuddin Wahid (Gus Sholah/Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jatim) yang akhirnya mengirimkan surat ke Museum Leiden, Belanda.
Gus Sholah memperoleh respon Leiden dan hasilnya terbit buku berjudul "Resolusi Jihad (Perjuangan Ulama: dari Menegakkan Agama hingga Negara)" setebal 236 halaman yang membuktikan bahwa fatwa jihad itu benar-benar ada dan pernah dimuat koran pada edisi 26-27 Oktober 1945.
"Kantor Berita ANTARA juga menyebarluaskan berita Resolusi Jihad itu pada 25 Oktober 1945. Pemberitaan ANTARA itu pernah saya baca dalam buku yang ditulis Ben Anderson (Indonesianis asal AS), apalagi awak dan fotografer juga banyak mengabadikan sejarah Pertempuran 10 November 1945 itu sejak perobekan bendera merah-putih-biru menjadi hanya merah-putih," kata wartawan senior LKBN ANTARA, Boyke Soekapdjo.
Artinya, aksi Resolusi Jihad itu merupakan fakta sejarah, bukan fiktif. Lebih kepada sejarah yang tidak terdokumentasikan. Aksi Resolusi Jihad sempat menjadi sejarah yang hilang dan sempat diragukan.
Meskipun peristiwa-peristiwa heroik itu terjadi, proses mendokumentasikan sejarah heroisme itu menghadapi banyak kendala. Sebagian besar cerita berkembang menjadi berbagai versi, sehingga ada risiko cerita tersebut dianggap sebagai mitos atau legenda.
Intinya, penulisan sejarah perjuangan bangsa yang sangat faktual itu penting untuk Generasi Z, agar tidak "terputus" dengan teladan yang sudah diperankan dalam pembelajaran para leluhur.
Dengan memahami sejarah, mereka dapat belajar dari keberhasilan dan perjuangan leluhur, menjadikannya sebagai inspirasi untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Untuk itu, perlu ada upaya lebih besar dalam mendokumentasikan sejarah yang ada, termasuk upaya menuliskan fakta dari para pelaku sejarah, termasuk memanfaatkan teknologi modern saat ini seperti digitalisasi dan dokumentasi arsip.
Selain itu, dorongan dari pihak-pihak yang dekat dengan pelaku sejarah harus diperkuat untuk memastikan pelaku sejarah maupun sejarah yang ditorehkannya dapat mengalir lancar kepada generasi penerus agar mereka tidak kehilangan akar kebangsaan yang membentuk jati diri mereka.