Bondowoso (ANTARA) - Santri dan pesantren adalah bagian dari kehidupan sosial yang selama ini kiprahnya tidak diragukan lagi.
Dari bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa santri dan pesantren telah mengambil peran dalam berbagai lini kehidupan, mulai dari pendidikan, ikut membangun tatanan sosial, hingga ekonomi dan politik.
Pada masa perjuangan mengusir penjajah, santri dan ulama adalah bagian, bahkan merupakan penggerak untuk mengangkat senjata maupun dalam mengobarkan semangat rakyat untuk berjihad di medan laga.
Perjuangan melawan penjajah adalah kontribusi nyata santri dan pesantren dalam bidang politik, dengan motif atau landasan politik kebangsaan.
Dalam perjalanan sejarah bangsa yang kini memasuki era kemerdekaan, perjuangan politik kaum santri tetap relevan untuk dilibatkan atau terlibat di dalamnya.
Ulama muda KH Abdul Hamid Wahid yang juga Kepala Pondok Pesantren Nurul Jadid Probolinggo, Jawa Timur, mengingatkan kembali akan kewajiban santri untuk berkontribusi dalam ikhtiar pembangunan bangsa di bidang politik.
Rektor Universitas Nurul Jadid (Unuja) itu mengatakan bahwa kewajiban santri berpartisipasi dalam pemilu itu bisa sebagai yang dipilih maupun sebagai pemilih.
Dalam kewajiban berpartisipasi dalam pemilu itu juga termaktub makna bahwa kaum santri harus ikut menyukseskan pemilu. Salah satu ukuran sukses pelaksanaan pemilihan umum itu adalah tingginya partisipasi masyarakat untuk menyalurkan hak pilihnya dalam momen 5 tahunan itu.
Santri dan pesantren adalah kelompok masyarakat yang selama 24 jam aktivitasnya bersentuhan dengan nilai-nilai baik, sehingga ketika mereka kembali ke masyarakat juga punya kewajiban untuk menebarkan nilai-nilai baik itu dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk politik.
Dengan berpartisipasi di bidang politik, santri telah ikut mengambil tanggung jawab untuk mengantarkan sistem pengelolaan negara yang digerakkan oleh nilai moral, alih-alih sekadar untuk kepentingan pragmatis.
Santri yang menetapkan keputusan untuk dipilih, baik sebagai anggota legislatif maupun kepala negara hingga kepala daerah, telah mengambil peran besar untuk memakmurkan dan menyejahterakan rakyat. Tentu, beban moral yang harus menjadi pegangan kaum santri di pilihan ini adalah membuang jauh-jauh kepentingan diri dan golongan.
Konsekuensi dari keputusan kaum santri untuk dipilih dalam ajang pemilu ini adalah menjaga muruah kesantrian dan kepesantrenan atau justru sebaliknya jika pegangan atas moralitas itu diabaikan.
Santri, idealnya memang merupakan sosok yang dapat diandalkan untuk berkiprah dalam ikhtiar mewujudkan kesejahteraan orang banyak, bukan untuk diri sendiri. Santri, sejak di pesantren telah terbiasa dengan pola hidup sederhana, bahkan apa adanya.
Di pesantren, para santri sudah terbiasa makan seadanya, seperti hanya nasi dengan kerupuk. Bahkan, guyonan satire yang lumrah di kalangan santri menyebut terong dengan "lele sawah". Terong yang jika di rumah menjadi sayur, di pesantren justru menjadi lauk dipadu hanya dengan sambal.
Kesederhanaan, kedisiplinan, dan kebiasaan lain untuk berpegang teguh pada nilai-nilai moralitas adalah modal dasar yang dimiliki kaum santri, dan sepatutnya hal itu dibawa ketika mereka tamat dari pesantren untuk terjun di masyarakat.
Selain itu, tradisi keilmuan yang juga dijalani santri di pesantren tentu melengkapi keidealan mereka untuk menjadi pemimpin di masyarakat. Sudah menjadi ajaran umum di pesantren bahwa akhlak itu lebih tinggi dari pada ilmu. Artinya, percuma berilmu tinggi, tapi akhlaknya tidak baik.
Melengkapi itu, ada adagium bahwa sekali menjadi santri, selamanya tetap santri. Ketika mereka sudah tidak berada lagi di pesantren, nilai-nilai kesatrian harus tetap dibawa dan diamalkan.
Dengan paradigma seperti ini, maka pesantren telah ikut membantu pemerintah menyiapkan kader untuk menjadi pemimpin mumpuni dalam segala lini.
Sungguh sangat indah jika kaum santri yang melabuhkan perjuangannya di bidang politik ini mampu mewarnai praktik pemerintahan yang menempatkan kepentingan rakyat yang dipimpinnya di atas segala kepentingan lainnya.
Sementara itu, untuk santri yang memilih partisipasinya di politik sebagai pemilih, peran mereka untuk memilih pemimpin juga tidak main-main.
Karena itulah wajar jika ulama mengingatkan kaum sarungan ini untuk berpartisipasi. Suara santri akan ikut menjadi penentu bagaimana jalannya pemerintahan selama 5 tahun ke depan.
Suara satu santri akan menentukan seperti apa kualitas pemimpin kita, baik di legislatif maupun eksekutif. Karena itu pondok pesantren biasanya menyediakan tempat pemungutan suara (TPS) bagi santri di kompleks pesantren saat pemilu, selain memfasilitasi santri yang ingin menggunakan hak politiknya di daerah asal masing-masing.
Dengan bekal ilmu dan akhlak, santri juga akan menjadi andalan dalam menjaga moral untuk menentukan hak suaranya dengan bersih, tidak terpengaruh oleh praktik politik yang menyimpang, seperti politik uang dan lainnya.
Ilmu dan akhlak adalah modal dan menjadi tameng bagi santri untuk menunjukkan idealismenya dalam politik.
Selain berdasarkan pertimbangan rasional untuk memilih pemimpin terbaik, santri juga sudah terbiasa dengan pertimbangan spiritual dalam menentukan sesuatu.
Pertimbangan di atas rasionalitas itu, misalnya dengan meminta petunjuk kepada Allah, sebelum menentukan pilihan untuk memilih siapa yang akan didukung untuk menduduki jabatan di legislatif maupun eksekutif.
Terkait persaingan dalam politik yang mengarah kepada perpecahan, lagi-lagi santri juga bisa mengambil peran. Santri yang di dadanya selalu diafirmasi untuk cinta Tanah Air, tentu tidak ingin bangsa ini terjerumus ke dalam jurang perpecahan hanya karena perbedaan politik.
Santri dapat berperan di masyarakat dengan mengajak dan mengingatkan warga, setidaknya di lingkup keluarga terkecil, bahwa pemilihan umum ini untuk memilih pemimpin, bukan untuk adu "pokoknya kelompok kita yang harus menang".
Santri yang di dalam dirinya dibekali ilmu dan semangat dakwah, harus ikut mengingatkan masyarakat untuk menjaga persatuan dan kesatuan di atas segala kepentingan politik praktis yang 5 tahun sekali ini.
Hal ini juga harus menjadi kepedulian kaum santri untuk ikut mencegah beredarnya kabar bohong atau hoaks mengenai calon pemimpin tertentu. Setidaknya, kaum santri tidak mudah percaya, apalagi dengan mudah ikut menyebarkan informasi yang tidak betul itu.
Kalau di pesantren, mereka dibiasakan shalat istikharah untuk menetapkan keputusan tertentu, alangkah baiknya jika terkait partisipasi dan dukungan dalam politik ini juga demikian, setidaknya melalui kontemplasi mendalam atau tafakur sebelum mengambil keputusan untuk menjatuhkan pilihan.
Partisipasi santri dalam pemilu, bukan sekadar memenuhi tingkat partisipasi pemilih dan mengambil peran dalam bidang politik, namun juga menghasilkan pemilu yang damai dan terpilihnya para pemimpin berkualitas.