Mengatasi Kekeringan di Daerah Kerontang Bojongoro
Sabtu, 17 September 2011 11:40 WIB
Oleh Slamet Agus Sudarmojo
Bojonegoro - Kekeringan yang terjadi di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur (Jatim), tidak hanya melanda areal pertanian, namun juga selalu rutin dialami warga di wilayah setempat dalam mendapatkan air bersih.
Kekeringan yang selalu terjadi selama kemarau, sebaliknya selalu dilanda banjir di musim hujan, memunculkan anekdot, "Yen rendheng ora iso dhodok, yen ketigo ora iso cewok (Kalau musim hujan tidak bisa duduk, kalau kemarau tidak bisa cebok).
"Kami mengatasi kekeringan di Bojonegoro dengan berusaha menambah tampungan air berupa embung sebanyak-banyaknya, " kata Kepala Dinas Pengairan Bojonegoro, Bambang Budi Susanto.
Ia mengakui, air hujan yang turun di Bojonegoro, sebagian besar masih terbuang percuma ke Bengawan Solo, sebelum akhirnya ke laut."Kami juga masih menunggu rampungnya program pembangunan Bendung Gerak Bengawan Solo, untuk pengembangan dengan membangun jaringan irigasi pertanian," kata Bupati Bojonegoro Suyoto, menambahkan.
Bendung Gerak Bengawan Solo, yang ditangani Balai Besar Bengawan Solo tersebut, dibangun di perairan Bengawan Solo di Desa Padang, Kecamatan Kalitidu. Bendung gerak yang memiliki panjang 1.841,752 meter itu, mampu menampung air sebanyak 13 juta meter kubik dari daerah tangkapan air seluas 12,467 km2.
Manfaat bendung gerak tersebut, antara lain mampu mencukupi kebutuhan air irigasi pertanian dengan debit 5.850 liter/detik di Kabupaten Blora, Jateng, seluas 665 hektare dan 4.949 hektare di Bojonegoro.
Bendung Gerak yang dibangun dengan dana Bank Dunia sebesar Rp300 miliar lebih sejak 5 Mei 2009 itu, dijadwalkan rampung 2012.
Tampungan Air Minim
Kabupaten Bojonegoro, yang memiliki luas wilayah sekitar 2.000 kilometer persegi, tampungan air yang ada di wilayah setempat masih minim. Di antaranya yang cukup potensial yaitu Waduk Pacal di Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang, dengan daya tampung 23 juta meter kubik.
Selain itu, juga Waduk Nglambangan, di Desa Nglambangan, Kecamatan Tambakrejo, dengan daya tampung 2,5 juta meter kubik. Tampungan air lainnya yaitu 31 embung yang berada di tanah SVW, dengan kapasitas 13,5 juta meter kubik. Sedangkan, 40 embung yang menempati tanah desa mampu menampung air 4,1 juta.
Menurut dia, dengan tampungan air berupa waduk dan embung tersebut, masih jauh dari mencukupi untuk mencukupi kebutuhan areal pertanian di wilayah setempat. Termasuk juga kebutuhan air bersih warga, terutama di saat kemarau.
Berdasarkan pemetaan, pada kemarau 2009, kesulitan air bersih melanda 67 desa yang tersebar di 16 kecamatan dengan jumlah 21.400 kepala keluarga (KK) atau 68.721 jiwa.
Ia berpendapat, dengan adanya pembangunan embung baru, selain bisa mengatasi kesulitan air irigasi pertanian, sekaligus juga bisa mengatasi kesulitan air bersih yang dialami warga.
"Adanya embung di suatu tempat, otomatis sumur warga sumbernya bisa bertambah," jelasnya.
Ia juga mencontohkan, dibangunnya embung baru pada 2011 di Desa Megale, Kecamatan Dander, direncanakan selain dimanfaatkan untuk irigasi pertanian, juga untuk mencukupi kebutuhan air bersih.
"Rencananya pihak desa membangun tower untuk menampung air embung dan disalurkan ke warga yang mengalami kesulitan air bersih," katanya mengungkapkan.
Program itu, sebagaimana diungkapkan Bambang, merupakan salah satu program pembuatan embung baru yang menempati tanah desa. Selain itu, pembuatan embung juga memanfaatkan SVW yang mulai berjalan sejak Oktober 2010.
Disebutkan, tanah SVW yang panjangnya 78 kilometer mulai Kecamatan Margomulyo di wilayah barat hingga di Kecamatan Baureno di wilayah timur, sangat potensial dimanfaatkan untuk lokasi embung. Tanah SVW yang memiliki lebar berkisar 200 meter tersebut, berada di wilayah selatan Bojonegoro, yang selama ini menjadi langganan kekeringan, karena jauh dari Bengawan Solo.
Pada 2010, dibangun tiga embung baru menempati tanah SVW di Desa Siwalan, Tumbrasanom dan Mlideg di Kecamatan Kedungadem. Menyusul setelah itu, pada 2011, hingga September ini, sudah dibangun enam embung baru dan pengembangan enam embung lama baik.
"Semuanya kami kerjakan sendiri, tidak dengan sistim tender proyek. Sebab kalau ditenderkan biayanya berlipat ganda," katanya dengan nada meyakinkan.
Ia menghitung, pembangunan embung di Desa Mojosari, Kecamatan Kalitidu, kalau dikerjakan dengan sistim proyek bisa menelan dana Rp1,1 miliar. Tapi, karena dikerjakan sendiri dengan memanfaatkan peralatan sendiri, berupa dua buah "exavator" (mesin pengeruk) dan "doser" (mesin perata), hanya menelan dana sekitar Rp29 juta.
Dari total perhitungan pengerjaan pembuatan embung baru, pengembangan embung lama dan pekerjaan lainnya, seperti pembuatan tanggul, juga yang lainnya, tahun anggaran 2010/2011, menelan dana Rp948,543 juta.
Padahal, lanjutnya, proyek yang dikerjakan tersebut, kalau dikerjakan dengan sistim kontrak diperhitungkan membutuhkan biaya Rp34 miliar lebih. "Hanya modal awalnya sekitar Rp5 miliar untuk membeli peralatan itu," katanya menambahkan.
Kekeringan di daerah hilir Bengawan Solo di Jatim, mulai Bojonegoro, Tuban, Lamongan hingga Gresik, termasuk di Kabupaten Blora, Jateng, hampir dipastikan masih akan terjadi. Pengelolaan potensi air sungai terpanjang di Pulau Jawa yang panjangnya mencapai 600 kilometer tersebut, masih terus diusahakan, sebagai usaha mengatasi kekeringan.
Menurut Staf Ahli Pembangunan Pemkab Bojonegoro, Tedjo Sukmono, untuk mengatasi kebutuhan air baku di wilayah Bojonegoro dan sekitarnya, menyusul rampungnya pembangunan Bendung Gerak Padang Bengawan Solo, dilanjutkan pembangunan Bendung Gerak Karanongko di perbatasan Jatim dan Jateng.
Dibangunnya Bendung Gerak Karangnongko yang diprogramkan Balai Besar Bengawan Solo di Solo, tersebut, sebagai ganti pembangunan Waduk Jipang di perbatasan Jatim dan Jateng yang sulit direalisasikan.
Berdasarkan data di Balai Besar Bengawan Solo, sungai yang panjangnya 600 kilometer mengairi 17 kabupaten dan tiga kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, itu potensi airnya sampai saat ini baru dimanfaatkan 15 persen untuk kepentingan irigasi, industri, PDAM dan lain-lain.
Potensi air mencapai 18,4 miliar (m3) pertahun, baru dimanfaatkan sekitar 2,8 miliar m3 pertahun atau 15 persen, rinciannya 14 persen irigasi, 0,5 persen industri, 0,1 persen PDAM dan non-PDAM 0,4 persen.
"Adanya Bendung Karangnongko, airnya bisa dialirkan ke tanah SVW yang sudah terbangun embung untuk mengatasi kesulitan air di wilayah selatan Bojonegoro," katanya menjelaskan.