Surabaya (ANTARA) -
Akademisi yang juga Dosen Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman Ph.D, menyatakan sikap sejumlah pihak soal penolakan terhadap Israel untuk tampil di Piala Dunia U-20 perlu disikapi secara jernih dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
“Saya memandang bahwa sikap penolakan tersebut dapat dibenarkan berdasarkan beberapa pertimbangan yang jernih,” ujar Airlangga dalam keterangan tertulis yang diterima di Surabaya, Kamis malam.
Ia mengatakan, Indonesia memiliki UUD 1945 yang dimaknai sebagai “kontrak sosial” dan di dalamnya tertera rasionalitas dari tujuan bernegara.
Dalam pembukaan UUD 1945, telah jelas ditegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
“Prinsip universal kemanusiaan yang tertera dalam konstitusi 1945 tersebut menjadi pijakan tertinggi kita untuk menolak kedatangan tim Israel, karena secara faktual masih melakukan berbagai bentuk penindasan terhadap bangsa Palestina,” ucapnya.
Sikap tersebut, menurut dia, juga telah dicontohkan oleh pendiri republik sekaligus Presiden pertama Soekarno saat menolak kedatangan atlet Israel dalam ajang Asian Games di Jakarta pada 1962 maupun melarang tim sepak bola Indonesia bertanding dengan Israel pada tahun kualifikasi Piala Dunia 1958.
"Apabila penegasan historis itu disanggah karena zaman telah berubah dari era tersebut, maka satu hal yang tetap bahwa nasib warga Palestina secara faktual masih tidak dapat menjadi tuan di tanah airnya sendiri dan tidak menjadi lebih baik semenjak peristiwa pengusiran mereka oleh Israel yang dikenal dengan peristiwa Nakba 1948, maupun pada era Soekarno. Artinya pesan Bung Karno yang sesuai amanat Konstitusi 1945 masih relevan hingga saat ini,” katanya.
Ia menjelaskan, apabila publik menimbang sejarah, pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia mendapatkan dukungan dari berbagai negeri yang jauh jaraknya seperti Mesir, Suriah, Lebanon, Irak dan Vatikan.
“Sehingga dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina yang jauh letaknya dari Indonesia memiliki makna penting bagi perjuangan rakyat Palestina. Argumen ini penting untuk mematahkan pandangan bahwa Palestina yang jauh letaknya dari Indonesia tidak perlu dibela kemerdekaannya,” tuturnya.
Airlangga juga mengajak publik untuk memahami perjalanan sejarah dunia di mana banyak pula even-even olahraga internasional tidak dilepaskan dari sikap politik.
“Salah satunya dapat kita temukan pada sikap terhadap rezim apartheid rasialis Afrika Selatan. Dunia internasional konsisten melakukan boikot terhadap tim nasional Afrika Selatan, yang mana selanjutnya sikap-sikap tersebut turut berkontribusi terhadap perjuangan penghapusan apartheid di sana,” ujarnya.
Airlangga melihat sikap yang diambil oleh PDI Perjuangan, kalangan elit, dan ormas-ormas masyarakat telah memberi pesan penting kepada komunitas internasional, bahwa terkait dengan masih bercokolnya penjajahan terhadap Palestina oleh Israel, maka kekuatan politik utama di Indonesia masih dengan tegas menolaknya.
“PDI Perjuangan telah menempatkan diri sebagai kekuatan politik utama di Indonesia yang memberikan pembelaan terhadap kemerdekaan Palestina secara de jure maupun de facto,” katanya.
Airlangga menambahkan, perbedaan sikap antara Presiden Joko Widodo dan PDI Perjuangan secara prinsip tidak berbeda, karena keduanya berangkat dari pembelaan yang sama atas kemerdekaan Palestina dan penolakan terhadap imperialisme Israel.
“Semuanya memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia maupun kekuatan politik di Indonesia masih menjunjung tinggi prinsip antipenjajahan seperti amanah konstitusi maupun pesan dari Bung Karno,” tuturnya.