Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Cabang Tulungagung mendesak pemerintah untuk merevisi PP 57/2021 tentang Standard Nasional Pendidikan dengan mempertahankan mata pelajaran Pancasila dan Kewarhanegaraan (PPKN) di semua jenjang pendidikan, mulai PAUS, SD, SMP, SMA hingga pendidikan tinggi lanjutan.
"Tanpa ada pendidikan Pancasila, kita patut khawatir generasi yang lahir setelah 1998 akan lupa dengan akar sejarah bangsanya, kehilangan nilai-nilai luhur sebagai bagian dari Bangsa Indonesia," kata Ketua PGRI Cabang Tulungagung Muhadi di Tulungagung, Minggu.
Secara khusus, PGRI Tulungagung sebagaimana yang juga dilakukan Persatuan Guru Republik Indonesia di daerah-daerah lain, telah mendiskusikan hilangnya materi pelajaran PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) sebagaimana diatur dalam PP 57/2021 sebagai "kemunduran".
Menurut Muhadi, hilangnya mata pelajaran sejarah sejak era 1990-an akhir harusnya menjadi pelajaran berharga.
Sebab, tanpa ada lagi pendidikan sejarah, kata Muhadi, siswa tak lagi mengetahui dengan baik perjalanan sejarah bangsanya hingga terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Ambil contoh Hari Kartini. Sekarang banyak siswa yang tidak tahu sejarah perjuangan Kartini sehingga diperingati setiap tanggal 21 April," katanya.
Lebih fatal lagi, lanjut Muhadi, generasi muda era setelah 1998 ini juga tidak menguasai wawasan tentang perjuangan kemerdekaan. Termasuk bagaimana proses perumusan ideologi Pancasila oleh para "founding father" atau para pendiri bangsa ini.
"Bahwa dialektika perumusan Pancasila, dimana pada sila ke satu telah mengakomodasi keberagaman yang telah ada di negara ini. Dari awalnya sila ke-1 berbunyi Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa," papar Muhadi.
Berkaca dari hal itulah, PGRI berharap kasus penghilangan mata pelajaran sejarah dalam kurikulum pendidikan nasional tidak berulang pada mata pelajaran PPKN.
"Rumusan kesimpulan dari diskusi kami ini sudah kami sampaikan ke PGRI Jawa Timur dan untuk selanjutnya bisa diteruskan ke pemerintah pusat. Kami tentu sangat berharap kebijakan tersebut (PP 57/2021) bisa ditinjau kembali demi menyelamatkan generasi muda Indonesia di masa depan," kata Muhadi.
Munculnya gelombang reaksi dari kalangan pendidik ini tidak lepas dari penetapan PP Nomor 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan pada Maret 2021. Peraturan Pemerintah ini merupakan aturan turunan dari Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada pasal 40 PP 57/2021 tertulis muatan wajib terkait pengembangan karakter dalam kurikulum pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi adalah pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa.
Tidak ada penyebutan sama sekali Pancasila sebagai mata pelajaran/kuliah sebagai muatan wajib kurikulum.
Lahirnya PP 57/2021 ini memicu polemik di masyarakat, khususnya di lingkup dunia pendidikan, sehingga menguatkan desakan agar Undang-undang Nomor 20/2003 direvisi agar Pendidikan Pancasila kembali dimasukkan dalam kurikulum.
Meski penekanan pada kompetensi kognitif diperlukan sebagai bekal daya saing global, kompetensi sosial-emosional yang diajarkan oleh nilai-nilai Pancasila mutlak diperlukan sebagai pondasi karakter generasi muda dalam interaksi sosial, baik di tingkat lokal maupun global. (*)