Surabaya (ANTARA) - Ikatan Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (IKA FKM Unair) menilai kebijakan Pemerintah Kota Surabaya dengan menggelar rapid test atau tes cepat dan swab COVID-19 secara massal sudah tepat.
"Tes COVID-19 massal ini membawa konsekuensi yakni semakin ditemukannya kasus terkonfirmasi atau positif dalam jumlah banyak," kata Ketua IKA FKM Unair Estiningtyas Nugraheni di Surabaya, Jumat.
Menurut dia, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini berani mengambil langkah risiko dalam memutus mata rantai penyebaran virus corona jenis baru atau COVID-19 di Kota Surabaya.
Estiningtyas mengatakan temuan banyaknya kasus terkonfirmasi positif itu tidak perlu dicemaskan, apalagi secara berlebihan. Justru langkah Risma perlu mendapat apresiasi tinggi sebab belum tentu semua kepala daerah berani mengambil langkah berisiko itu.
Sebagaimana prinsip dasar penanganan COBID-19, lanjut dia, bahwa tes masif adalah pintu masuk penemuan dini kasus baru, perlu diikuti dengan proses tracing (pelacakan) dan penanganan perawatan sesuai standar.
"Dengan kata lain upaya Pemkot Surabaya dalam menangani COVID-19 saat ini adalah on the track," kata pengurus Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) ini.
Berdasar data yang diamatinya hingga 3 Juni 2020, kontribusi Kota Surabaya atas kasus konfirmasi positif COVID-19 di Jawa Timur mencapai 53 persen. Sementara bila dibandingkan dengan kasus konfirmasi positif di seluruh Indonesia, Surabaya menyumbang sekitar 10 persen.
Estiningtyas menyebut angka dan persentase tersebut mungkin dianggap tidak terlalu baik dalam penanganan COVID-19. Meski sebetulnya bila kasus konfirmasi positif di Surabaya yang mencapai 2.803 orang dibandingkan dengan jumlah penduduk Surabaya sebesar 3,15 juta masih berada di kisaran 0,009.
Ia menjelaskan kasus di Surabaya berbeda dengan daerah yang uji PCR rendah, bila satu kasus positif ditemukan dengan memeriksa sedikit orang. Bisa jadi, kata dia, sebetulnya masih banyak orang yang terinfeksi tetapi belum diperiksa.
"Tentu hal ini jauh lebih berbahaya dalam penanganan pendemi COVID-19. Dimana aspek tes sebagai pintu masuk penanganan lebih lanjut justru diabaikan. Padahal diketahui penemuan dini kasus baru yang terkonfirmasi bertujuan untuk menghentikan laju penularan," kata Esti.
"Semakin banyak tes yang dilakukan, maka upaya memutus rantai penularan akan semakin terarah. Tes yang masif setidaknya dilakukan 1/1000 penduduk. Dengan jumlah penduduk Surabaya sekitar 3,15 juta, maka idealnya tes COVID-19 dilakukan minimal kepada 3.150 warga Surabaya," katanya.
Dosen sekaligus peneliti Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Prof. Dr. Sri Sumarmi S.K.M, M.Si mengatakan berdasarkan temuan 2.803 kasus positif, sebanyak 78 persen mendapatkan perawatan dan 19 persen di antaranya telah dinyatakan sembuh dan kasus yang meninggal dunia mencapai 9 persen.
"Tentu ini merupakan capaian yang cukup baik dari aspek prinsip dasar treatment," ujarnya.
Untuk itu, lanjut dia, Pemkot Surabaya perlu merilis data lebih lanjut karakteristik kasus kematiannya, apakah ada penyakit penyerta (komorbid) yang juga diderita pasien kasus konfirmasi dan rata-rata usia yang meninggal. "Hal ini penting untuk menjadi pelajaran dan bahan edukasi bagi masyarakat berbasis bukti," katanya.