Pamekasan (ANTARA) - Kejaksaan Negeri (Kejari) Pamekasan, Jawa Timur, mengusut penjualan tanah kas negara seluas 2.181 meter persegi di Kelurahan Kolpajung oleh oknum lurah setempat.
Sebanyak dua orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, yakni oknum lurah berinisial AZ dan seorang warga MD.
"Keduanya telah kami tahan, dan saat ini kami masih melengkapi sejumlah kekurangan berkas penyidikan," kata Kepala Kejari Pamekasan Teuki Rahmatsyah di Pamekasan, Jumat.
Ia menegaskan bahwa pihaknya akan mengusut tuntas kasus itu, dan tidak akan melakukan penangguhan penahanan pada kedua tersangka tersebut, karena tindakannya telah merugikan negara.
Kajari mengemukakan hal ini, menjelaskan pertanyaan masyarakat Kolpajung yang mengatas namakan diri Kesatuan Aksi Masyarakat Kolpajung saat beraudiensi ke kantor Kejari Pamekasan, Kamis (30/4/2020).
Tanah Percaton atau tanah kas negara yang dijual oleh oknum Lurah Kolpajung kepada warga itu terletak RT01/RW05, Dusun Bata-bata, Kecamatan Kota, Kelurahan Kolpajung, Kabupaten Pamekasan.
Kini tanah seluas 2.181 meter persegi tersebut sudah atas nama milik pribadi warga berinisial MM yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Kasus klaim kepemilikan tanah negara menjadi milik pribadi warga ini mulai diusut oleh aparat penegak hukum saat masyarakat Kolpajung berunjuk rasa memrotes hal itu ke kantor Kelurahan Kolpajung, Pamekasan belum lama ini.
Pada 22 Januari 2020, tim penyidik Polres Pamekasan menahan Lurah Kolpajung dan warga berinisial MH terkait kasus itu.
Keduanya ditetapkan sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi atas dugaan penyerobotan tanah kas negara itu. Keduanya dijerat dengan Undang-Undang RI (Republik Indonesia) Nomor 31 Tahun 1999 melalui Perubahan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.
Penasihat hukum kedua tersangka ini, sempat mengajukan gugatan praperadilan, namun gugatannya ditolak oleh Pengadilan Negeri Pamekasan.
"Kami sengaja datang lagi ke Kejari Pamekasan ini, untuk meminta agar proses hukum penjualan tanah kas negara ini segera disidangkan, karena kami khawatir, penahanan kedua tersangka ditangguhkan atau penyidikan kasus ini dihentikan," kata juru bicara masyarakat Kolpajung, Pamekasan Zaini.
Zaini yang juga aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan ini lebih lanjut menjelaskan, yang menjadi keresahan masyarakat, karena sejak berkas kasus itu diserahkan oleh tim penyidik Polres Pamekasan ke Kejari Pamekasan, belum ada perkembangan lebih lanjut.
"Bisa saja melalui kewenangannya, penyidik Kejari Pamekasan menghentikan penyidikan kasus ini," ujar Zaini.
Namun, Kajari Pamekasan Teuku Rahmatsyah menegaskan, pihaknya akan mengambil tindakan tegas, dan tidak akan main-main dengan kasus dugaan korupsi, apalagi menyangkut aset negara.
Penyidikan kasus penjualan tanah kas negara di Kelurahan Kolpajung itu lambat, karena tim penyidik Kejari Pamekasan masih melengkapi kekurangan berkas, untuk menguatkan penuntutan dan pembuktian saat disidang di pengadilan nanti.
Kasus klaim kepemilikan tanah kas negara menjadi milik pribadi warga ini, bukan kasus yang pertama kali terjadi di Pamekasan.
Berdasarkan hasil serap aspirasi yang dilakukan DPRD Pamekasan, selain di Kelurahan Kolpajung, kasus serupa juga pernah terjadi di daerah lain, dengan luas total mencapai 170 hektare.
Salah satunya, seperti di Kecamatan Pademawu, Pamekasan yakni tanah kas negara di pesisir pantai Desa Majungan yang juga diklaim menjadi milik pribadi warga.
Tanah ini merupakan tanah kas negara yang dikuasakan penggunaannya kepada Perum Perhutani Madura yang berkantor di Kabupaten Pamekasan untuk dijadikan hutan lindung di kawasan pantai selatan di Kecamatan Pademawu. Namun, oleh masyarakat setempat kala itu dimohon untuk dikelola menjadi lahan tambak garam pada tahun 1986.
Dalam perkembangannya, tiba-tiba banyak warga yang mengklaim sebagai pemilik tanah negara itu, dan konflik antara masyarakat dengan pihak Perhutani akhirnya terjadi, saat ada kelompok masyarakat lain yang juga mengklaim sebagai orang yang berhak mengelola lahan tersebut karena bekerja sama dengan Perhutani. (*)