Jakarta (ANTARA) - Pembakaran belasan mobil di sekitar asrama Brimob, kawasan Petamburan, Tanah Abang Jakarta Pusat, Selasa malam hingga Rabu (22-5-2019) pagi serta ketegangan di depan Kantor Bawaslu RI, Jalan M.H. Thamrin Jakarta Pusat rasanya patut diprihatinkan sehingga tak berlarut-larut.
Suasana tegang itu muncul setelah Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU.RI) pada hari Selasa (21-5-2019) mengumumkan siapa pemenang pemilihan umum presiden dan wakil presiden, 17 April lalu, yang diikuti pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Seperti telah diperkirakan banyak orang, akhirnya mantan Gubernur DKI Jakarta Jokowi yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin dinyatakan sebagai pemenang untuk menjadi kepala pemerintahan masa bakti 20 Oktober 2019 hingga Oktober 2024.
Jokowi-Ma’ruf meraih suara kurang lebih 55,5 persen, sedangkan pasangan Prabowo-Sandiaga mendapat 44,5 persen. Pengumuman tersebut 1 hari lebih awal dari yang ditetapkan. KPU pernah menyebutkan daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019 adalah sekitar 190,7 juta orang.
Dengan demikian, Jokowi-Ma’ruf akan menguasai pemerintahan selama 5 tahun mendatang sehingga berkewajiban untuk terus meningkatkan kesejahteraan sekitar 262 juta orang Indonesia yang sebagian di antaranya masih hidup dalam kemiskinan.
Karena Jokowi sudah bisa menduga-duga kemenangannya, tentu dia sudah harus menyiapkan para pembantunya, terutama para menteri dan juga kepala lembaga pemerintahan nonkementerian yang mungkin masih disebut tergabung dalam Kabinet Kerja jilid kedua.
Setelah dilantik pada tanggal 20 Oktober, Jokowi dan Ma’ruf Amin harus secepatnya mengumumkan para menterinya yang siap-siap langsung bekerja selama 5 tahun mendatang secara nonsetop.
Walaupun Jokowi belum diumumkan sebagai kepala pemerintahan 5 tahun mendatang, ternyata sudah ada orang yang "menawar-nawarkan" dirinya sebagai menteri. Entah bagus alias baik ataukah berlebihan tingkah laku itu, apalagi kampanye "pribadi" itu demi posisi Menteri Hukum dan HAM dilakukan melalui sebuah televisi swasta.
Karena ada prinsip "siap menang dan juga siap kalah", apa pun hasilnya harus diterima secara ikhlas. Pasangan mantan Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad TNI AD) serta mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) itu pun harus mengakui kenyataan tersebut.
Prabowo-Sandiaga bahkan disebut-sebut akan membawa kasus "kekalahannya" ke Mahkamah Konstitusi.
"Pil pahit" ini juga harus diakui dan disadari oleh anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, termasuk seluruh simpatisan dan pendukungnya. Pilihan sebagian besar rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu harus diterima biar bagaimanapun juga sebagai sebuah kenyataan bersejarah .
Toh, Pilpres 2019 sama sekali bukan akhir dari perjalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia karena masih ada pilpres dan pileg pada tahun 2024.
Harapan Rakyat
Karena Jokowi-Ma’ruf sudah diumumkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, seluruh rakyat tentu berhak mengetahui strategi dan program kerja mereka selama masa pemerintahannya, terutama di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan hingga lingkungan hidup.
Jokowi-Ma'ruf pasti mengetahui bahwa puluhan juta jiwa di antara sekitar 262 juta rakyat Indonesia masih yang hidup di bawah garis kemiskinan sehingga diberi istilah hidup di bawah garis kemiskinan (prasejahtera).
Mencari uang Rp10 ribu hingga Rp50 ribu saja setiap harinya masih menjadi impian alias dambaan bagi kelompok ini agar bisa makan tiga kali sehari, seperti saudara sebangsa dan se-Tanah Air lainnya.
Itu baru bagi urusan "perut" satu keluarga. Belum lagi masalah rumah atau pemondokan yang tetap menjadi impian juta orang atau keluarga di Tanah Air.
Rumah sangat sederhana alias RSS berukuran 18 atau 24 meter persegi saja masih tetap menjadi impian jutaan bapak, ibu, dan anak-anak mereka. Orang Indonesia tiap detik terus bertambah ribuan orang, sedangkan tanah tidak pernah bertambah 1 meter pun. Akibatnya tanah yang masih "menganggur" terus saja diburu oleh banyak keluarga.
Masalah lain yang harus pula dipecahkan Jokowi- Ma’ruf adalah bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan bagi jutaan orang yang sudah bertahun-tahun mencari lapangan kerja, apalagi ditambah dengan jutaan pencari kerja yang baru lainnya.
Jadi, amat jelas "pekerjaan rumah" bagi pemerintahan selama 5 tahun mendatang ini sudah sangat berat, kemungkinan besar tidak bisa diselesaikan oleh Jokowi-Maruf selama 5 tahun mendatang sehingga akan menjadi PR berikutnya bagi presiden-presiden mendatang.
Oleh karena itu, Jokowi harus mencari menteri-menteri dan kepala lembaga pemerintahan nonkementerian yang benar-benar, sekali lagi benar-benar bekerja dengan sepenuh hati dan sepenuh tenaganya demi rakyat NKRI agar PR-PR yang kian bertumpuk tersebut secara bertahap dan perlahan-lahan bisa dikurangi.
Jokowi yang sudah berpengalaman memerintah selama hampir 5 tahun ini bisa diduga sudah pernah berdiskusi, berunding selama intensif dengan orang keduanya itu demi melaksanakan tugas kenegaraan 5 tahun mendatang.
Untuk itu, amat diperlukan semua menteri yang mutu keintelektualannya tidak usah diragukan lagi demi bangsa ini.
Yang amat pasti adalah rakyat di seluruh Indonesia tak ingin lagi menemukan pejabat tinggi atau pejabat negara yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, misalnya ulah mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman, mantan Ketua DPR RI Setya Novanto, dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham, mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho, mantan Gubernur Jambi Zumi Zola, serta belasan bupati dan wali kota yang berhasil dibuktikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah "makan" uang rakyat ratusan juta hingga miliaran rupiah.
APBN dan APBD ke-34 provinsi dan kurang lebih 514 kota serta kabupaten tiap tahunnya menjadi ribuan triliun rupiah sehingga harus diselamatkan dari "tangan-tangan" jahil yang tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, langkah-langkah strategis dan juga praktis Joko Widodo-Ma’ruf Amin sangat dinanti-nanti seluruh rakyat Indonesia. Karena rakyat Indonesia baru saja melewati pilpres dan pileg, seluruh rakyat Indonesia termasuk "kelompok oposisi" harus memberi kesempatan kepada pasangan ini untuk membuktikan janji-janji mereka, terutama selama masa kampanye.
Mudah-mudahan kerusuhan di Jakarta tidak menyebar ke daerah lainnya di Tanah Air.
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN Antara tahun 1982 sampai 2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan pada tahun 1987 s.d. 2009.
Ketegangan di Jakarta janganlah berlanjut
Kamis, 23 Mei 2019 7:42 WIB