Sampang (Antaranews Jatim) - Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Jawa Timur meminta pemerintah provinsi dan Pemkab Sampang segera menyelesaikan konflik bernuansa SARA antara kelompok Islam Syiah dan Sunni di Kabupaten Sampang, Pulau Madura.
Menurut Ketua Departemen Perguruan Tinggi Kemahasiswa dan Pemuda (PTKP) Badko HMI Jawa Timur Basri, konflik Syiah-Sunni di Sampang, Madura, itu, telah terjadi sejak 2012, namun hingga kini belum teratasi.
"Pemerintah harus memikirkan agar konflik ini segera selesai, sehingga kedua belah pihak bisa hidup damai kembali secara berdampingan," kata Basri kepada Antara di Sampang, Sabtu.
Konflik bernuansa SARA antara kelompok Islam Syiah dan kelompok Islam Sunni di Kabupaten Sampang, Pulau Madura, Jawa Timur, terjadi pada 26 Agustus 2012.
Dalam peristiwa itu, satu orang tewas dan enam orang lainnya luka-luka serta sebanyak 47 rumah pengikut aliran Islam Syiah ludes dibakar massa penyerang.
Sedikitnya 282 warga Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, dan Desa Blu`uran, Kecamatan Karangpenang, Sampang, harus dievakuasi akibat konflik berdarah tersebut.
Tragedi kemanusiaan itu bermula ketika beberapa orang tua pengikut ajaran Syiah hendak mengantar sekitar 20 anaknya menuntut ilmu di Yayasan Pondok Pesantren Islam (YAPI) Bangil, Pasuruan, Jawa Timur.
Pada sekitar pukul 10.00 WIB, sebelum keluar dari gerbang Desa Karang Gayam, rombongan pengantar dihadang sekitar 30 orang bersepeda motor. Massa melengkapi dirinya dengan celurit, parang, serta benda tajam lainnya.
Anak-anak Syiah yang sudah naik angkutan umum disuruh turun, sedangkan yang mengendarai kendaraan dipaksa pulang ke rumah mereka masing-masing. Sebagian warga Syiah yang berupaya melawan aksi itu justru membuat massa makin beringas, sehingga bentrokan tidak terhindarkan.
Satu persatu rumah-rumah pengikut Islam Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Sampang, dibakar. Aksi pembakaran itu mulai sekitar pukul 11.00 WIB hingga sore sekitar 15.00 WIB masih berlangsung dan diduga kuat memang telah terencana.
Basri berharap pemimpin baru Jawa Timur, yakni Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elistianto Dardak, serta pemimpin baru Sampang, yakni Haji Slamet Junaidi dan Abdullah Hidayat bisa menyelesaikan konflik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun itu.
"Hidup damai dan saling menghargai perbedaan, tentu lebih indah, karena negara ini adalah negara plural yang menghargai perbedaan," ujar Basri.
Mantan Pengurus HMI Komisariat IAIN Madura ini menambahkan, HMI sangat berkepentingan konflik Sampang segera teratasi dan para pihak kembali hidup berdampingan.
"Para korban konflik itu adalah manusia yang harus dipikirkan dan diperhatikan secara manusiawi pula, dan mereka juga ingin kembali ke kampung atau tanah kelahiran mereka. Pemerintah harus hadir memberikan perlindungan pada mereka, bukan terus membiarkan korban konflik hidup dalam pengungsian," kata Basri yang juga asal Desa Bluuran, Kecamatan Karang Penang, Sampang.
Pendekatan dialog dan pemahaman akan pentingnya toleransi penting terus dilakukan.
Ia mengatakan, solusi yang dilakukan pemerintah dengan mengungsikan kelompok Islam Sunni ke Sidoarjo memang merupakan solusi alternatif sementara.
"Akan tetapi, mengorbankan kelompok kecil dengan cara hidup dalam tekanan batin seperti itu, hakikatnya tetap merupakan masalah kemanusiaan. Untuk itu, gerak cepat dan gerak cerdas pemerintah penting mengatasi masalah kemanusiaan yang telah menjadi perhatian dunia ini," katanya, menambahkan.
Basri juga mengajak semua elemen masyarakat ikut memperhatikan masalah kemanusiaan yang menimpa kelompok Islam minoritas di Sampang dan mendorong pemimpin baru di Jawa Timur dan Kabupaten Sampang memperhatikan masalah tersebut.
"Sekali lagi, kepentingan kami adalah perdamaian dan ini adalah inti dari ajaran Islam yang sebenarnya, yakni hidup rukun dan damai, serta menghargai perbedaan pendapat dan keyakinan yang berkembang di masyarakat," katanya, menjelaskan. (*)