Peluang Perdamaian Konflik Sampang di 2014
Jumat, 3 Januari 2014 10:33 WIB
Madura - Konflik antara kelompok Islam Syiah dan kelompok Islam Sunni di Kabupaten Sampang, Madura, telah lama terjadi, bahkan hingga awal Januari 2014 telah mencapai satu tahun lebih.
Tragedi kemanusiaan yang menyebabkan seorang warga Syiah meninggal dunia dan tujuh orang lainnya luka-luka, serta sebanyak 47 unit rumah pengikut aliran itu dibakar massa terjadi pada Minggu 26 Agustus 2012, sekitar pukul 10.00 WIB.
Di Sampang, kelompok kecil penganut aliran Syiah ini tidak hanya diserang dan rumahnya dibakar, tetapi juga diusir dari kampung halamannya di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang.
Salah satu penyebabnya karena aliran Islam Syiah di Sampang itu dianggap sesat dan ajarannya menyesatkan masyarakat. Selain itu, paham yang dianut warga Syiah Sampang itu berbeda dengan paham yang dianut oleh mayoritas pengikut ajaran Islam Sunni.
"Jadi antara Syiah dengan Sunni itu tidak bisa lagi bersatu. ibarat air dengan minyak kelapa. Sampai kapanpun tidak akan pernah menyatu," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sampang KH Imam Buchori Maksum.
KH Imam Buchori Maksum ini menilai penyerangan kelompok Islam Sunni terhadap kelompok Islam Syiah sebagai bentuk reaksi atas tindakan yang selama ini dilakukan oleh pengikut Syiah.
Perbedaan akidah atau keyakinan merupakan pemicu utama terjadinya tragedi kemanusiaan yang terjadi di Sampang, Madura, Jawa Timur itu, kendatipun ia mengakui ajaran agama manapun tidak memperbolehkan adanya kasus kekerasan, apalagi membunuh dan membakar tempat tinggal mereka.
Konflik bernuansa SARA yang terjadi di Sampang pada 26 Agustus 2012 itu merupakan kali kedua, sebab sebelumnya pada akhir Desember 2011 juga terjadi. Ketika itu rumah pimpinan Islam Syiah, mushalla dan madrasah kelompok Syiah diserang oleh massa. Sebanyak 200 pengikut Islam Syiah terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Namun, berkat upaya pendekatan dari berbagai pihak, termasuk dari pemerintah Kabupaten Sampang, TNI dan Polri, kelompok Syiah yang sebelumnya terusir dan harus tinggal di lokasi pengungsian itu berhasil dipulangkan ke kampung halamannya di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Sampang.
Hanya saja, ketenangan antara kedua muslim berbeda aliran tersebut tidak berlangsung lama, sebab sekitar delapan bulan kemudian, konflik kembali pecah, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Satu orang tewas, dan sebanyak tujuh orang lainnya luka-luka, bahkan rumah-rumah mereka juga hangus dibakar kelompok penyerang.
Ketua kelompok jamaah Islam Syiah Sampang Ikil Al Milal mengaku tidak mengerti dengan aksi penyerangan yang dilakukan saudaranya sesama Muslim itu hanya karena berbeda aliran.
"Kalau Islam Syiah ini dikatakan sesat, lalu sesat dari sisi apanya, lhawong Syiah ini merupakan salah satu aliran agama Islam yang juga diakui di dunia internasional," kilah Iklil.
Ia juga mengaku tidak mengerti dengan tindakan yang dilakukan oleh kelompok penyerang itu, sebab dengan demikian, pengikut aliran Islam Syiah seolah-oleh dianggap penjahat yang harus dimusuhi dan harus terusir dari kampung halamannya hanya karena berbeda aliran.
Upaya Perdamaian
Sejak tragedi kemanusiaan bernuansa Sara pecah, pemerintah sebenarnya telah melakukan berbagai upaya untuk mendamaikan kedua belah pihak. Berbagai pertemuan hampir setiap hari digalar, guna membahas kasus berdarah di Sampang itu.
Tidak hanya pejabat pemkab, sejumlah pejabat di tingkat pusat, mulai dari Menteri, Panglima TNI dan Kapolri, serta sejumlah wakil rakyat lintas komisi dan fraksi juga turun secara langsung, guna mencari soluasi atas persoalan tragedi kemanusiaan di Sampang ini.
Para abdi negara ini menginginkan, agar warga Syiah bisa kembali ke kampung halamanya di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang.
"Kasus Syiah Sampang ini memang tidak bisa hanya diselesaikan secara sepihak, semisal Pemkab Sampang saja. Kasus Syiah sudah menjadi kasus nasional, bahkan internasional, karena menyangkut hak hidup warga," ucap Wakil Bupati Sampang Fadilah Budiono.
Menurut Wabup, selama kurun waktu 2012 hingga 2013 banyak hal yang telah dilakukan pemkab dalam berupaya meredam konflik bernuansa SARA itu. Berbagai pendekatan juga telah dilakukan. Baik pendekatan persuasif, maupun pendekatan formal kelompok.
Hanya saja, dari berbagai upaya itu hingga kini belum membuahkan hasil yang memadai, bahkan desakan kelompok mayoritas untuk mengusir pengikut aliran Islam Syiah Sampang dari kampung halamannya semakin kuat.
Maka atas pertimbangan keamanan, serta kuatnya desakan dari kelompok mayoritas anti-Syiah, pada 20 Juni 2013 sekitar pukul 15.00 WIB korban tragedi kemanusiaan ini akhirnya dipindahkan ke rusunawa Puspa Agro di Jemundo, Kabupaten Sidoarjo.
Ratusan personel keamanan dari unsur TNI dan Polri dikerahkan ketika itu untuk memindahkan pengikut Syiah dari lokasi pengungsian gedung olahraga (GOR) Wijaya Kusuma, Sampang.
Pada saat bersamaan, ratusan ulama serta ribuan pengikut Sunni, menggelar istighatsah tak di lapangan Wijaya Kusuma Sampang, tak jauh dari lokasi pengungsian korban tragedi kemanusian itu.
Selain menggelar doa dengan alasan untuk keselamatan bangsa, ribuan pengikut aliran anti-Syiah ini juga menyampaikan pernyataan sikap, yang intinya menolak keberadaan aliran Islam Syiah di Kabupaten Sampang dengan alasan demi keamanan di Kabupaten Sampang.
Direktur Pusat Studi Agama dan Politik/Central Of Religion and Political Studies (Centris) Madura Sulaisi Abdurrazak menilai sebenarnya masih ada peluang untuk mendamaikan kedua kelompok berbeda aliran di Kabupaten Sampang itu.
Menurut Sulaisi, kalau dikaji dari sisi sosial budaya, masyarakat Madura sebenarnya merupakan masyarakat terbuka serta toleran dalam menyikapi perbedaan. Selain itu, keduanya masih beragama yang sama, yakni sama-sama Islam.
"Caranya tentu harus menekankan pada sisi persamaannya, bukan justru memperuncing perbedaan antara kedua kelompok itu," tuturnya, menjelaskan.
Sebab, sambung dia, jika perbedaan pendapat dan pemahamanan yang dikedepankan, maka ia yakin sampai kapanpun upaya perdamaian konflik bernuansa SARA antara kelompok Islam Syiah dan kelompok Islam Sunni di Sampang itu tidak akan pernah selesai.
Apalagi, di sebagian warga kini sudah timbul anggaran bahwa Syiah merupakan ajaran sesat dan menyesatkan.
"Kata sesat dalam pendangan masyarakat umum atau masyarakat awan ini sudah identik dengan istilah boleh diapakan saja. Termasuk dibunuh tentunya," terang Sulaisi.
Padahal, sambung mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pamekasan ini, sejauh ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) di tingkat pusat, belum pernah menyatakan Islam Syiah sesat, sebagaimana difatwakan MUI Sampang dan MUI Jatim, hingga akhirnya menimbulkan reaksi keras dan menyebabkan terjadinya konflik itu.
Dalam kasus itu, sambung Sulaisi, memang ada konflik personal antara pimpinan Islam Syiah Tajul Muluk dengan saudaranya yang Sunni, Rois Al Hukama, tetapi intensitasnya sangat rendah dan jika dikaji dari sosio kultural masyarakat Madura, tidak berpotensi sama sekali terjadi pergerakan massa.
Sebab, biasanya, pergerakan massa itu akan terjadi di Madura, apabila menyangkut agama, perebutan kekuasaan dan harta benda yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ia mencontohkan seperti terjadi "carok" massal di Desa Bujur Tengah, Kecamatan Batumarmar, Pamekasan pada tahun 2006.
"Tapi pemerintah memang berupaya menyembunyikan penyebab utama kasus Sampang ini, dengan tujuan, mungkin untuk meredam. Padahal dengan cara disembunyikan seperti itu, justru persoalannya menjadi tidak terselesaikan," ujar Sulaisi.
Proses Alami
Menurut anggota DPR RI asal Sampang Achmad Rubaie, proses perdamaian antara kelompok Islam Syiah dengan Sunni harus berjalan alami dan melibatkan semua pihak yang terlibat. Cara itu dinilai paling tepat demi menjaga agar gesekan tak kembali muncul.
Jika upaya perdamaian dilakukan secara paksa, maka hasilnya juga tidak akan optimal, bahkan cenderung berpotensi timbulnya konflik susulan.
"Alami yang kami maksudkan, atas kesadaran sendiri, tidak ada pemaksaan ataupun tekanan-tekanan," katanya di Sampang.
Jika proses perdamaian hanya dilakukan oleh kelompok tertentu, kata dia, maka upaya perdamaian itu akan sulit terwujud, apalagi kasus kemanusiaan yang menimpa kelompok minoritas Islam Sampang itu tergolong parah, karena harus terusir dari kampung halaman.
"Pemerintah saya kira perlu proaktif juga dan bersikap adil dalam memperlakukan semuanya, serta yang terpenting tidak mengorbankan kelompok tertentu," tegas Rubaie.
Selain itu, kata dia, yang juga tidak kalah pentingnya dalam proses perdamaian itu melibatkan perwakilan semua tokoh ulama, sehingga semua pihak merasa terwadahi.
Rubaie meyakini, semua ulama dan tokoh-tokoh Islam setuju dengan proses perdamaian dan ia yakin, perbedaan paham tidak akan menyebabkan permusuhan, karena substansi ajaran Islam sesungguhnya menghormati perbedaan paham.
"Jika proses perdamaian yang dilakukan ini berjalan secara alami, maka kami yakin, konflik bernuansa Sara di Sampang pada 2014 ini akan tuntas," kata Ach Rubaie.
Sementara, pemerintah sendiri telah menyediakan dana sebesar Rp25 miliar khusus untuk membangun rumah-rumah warga Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang yang dibakar kelompok penyerang saat tragedi itu berlangsung pada 26 Agustus 2012. (*)