Malang (Antara Jatim) - Program rutin Bincang dan Obrolan Santai (Bonsai) bersama pakar di Universitas Brawijaya (UB) Malang menghadirkan pemerhati masalah hukum ketenagakerjaan dan perusahaan dari Law School University of Newcastle Australia, Dr Tim Connor, Jumat.
Dalam paparannya yang mengambil tema "Perspekif Hukum Ketenagakerjaan dan Hukum Perusahaan dalam Menghadapi Tantangan Global" itu, Tim menekankan adanya perlindungan dan hak tenaga kerja yang seharusnya menjadi bagian dari Hukum Ketenagakerjaan.
"Hukum ketenagakerjaan dan aturan perusahaan harusnya disinkronisasikan untuk mendukung perlindungan hak tenaga kerja. Selain itu harus mempertimbangkan inisiatif pihak pribadi atau swasta untuk melindungi hak para tenaga kerja," ujarnya saat menjadi pembicara dalam Program "Bonsai" UB Malang di Malang, Jawa Timur.
Ia menceriterakan selama 40 tahun terakhir ini dirinya fokus pada kebijakan ekonomi neoliberal yang ternyata justru mendorong pertumbuhan ekonomi dan terciptanya lapangan kerja. Namun, kebijakan itu juga memunculkan ketidakseimbangan perekonomian di kalangan masyarakat.
Ada kalangan masyarakat dan tenaga kerja yang cukup memprihatinkan, sementara kalangan pemilik perusahaan menikmati keuntungan yang sangat besar, tetapi tidak memperhatikan hak-hak tenaga kerjanya. Bahkan, jumlah kerkayaan delapan orang terkaya di dunia sama dengan jumlah kekayaan separuh dari populasi rakyat miskin di dunia yang mencapai 3,6 miliar jiwa.
Apalagi, lanjutnya, saat ini banyak perusahaan yang menggunakan tenaga robot dan mengurangi jumlah tenaga kerja manusia. Kondisi ini membuat perusahaan semakin kaya, sementara jumlah pengangguran terus bertambah tanpa ada solusi.
Bahkan, lanjutnya, ketidakseimbangan perekonomian antara tenaga kerja dan perusahaan, pihak perusahaan akan semakin sewenang-wenang dan menyalahgunakan kewenangannya (kekuasaan), meski melanggar hukum ketenagakerjaan. "Salah satu bentuk nyata pelanggaran yang dilakukan perusahaan adalah menghindari pajak, seperti yang dilakukan beberapa perusahaan besar,' ujarnya.
Dan, kata Tim, saat ini semakin banyak perusahaan yang memberlakukan sistem franchise, dimana pemilik franchise yang harus bertanggungjawab penuh atas tenaga kerjanya. Jika ada masalah, pemilik franchise yang harus bertanggungjawab, bukan pemilik perusahaan.
Melihat kondisi ketenagakerjaan yang seperti itu, katanya, hukum ketenagakerjaan harus diperbaiki sehingga pekerja bisa bebas berbicara dan bernegosiasi dengan pimpinan perusahaan. Selain itu, definisi ketenagakerjaan harus diperjelas, bahkan direktur perusahaan pun wajib memastikan perusahaannya memperhatikan dan memberlakukan hukum yang berlaku.
"Dengan menrapkan Hukum Ketenagakerjaan bagi tenaga kerja secara benar, paling tidak perusahaan mendapatkan keuntungan dari usahanya secara legal," ucapnya.(*)