Saking tingginya animo masyarakat Indonesia, setiap tahun jamaah yang hendak melaksanakan rukun Islam kelima selalu membeludak. Bahkan antrean untuk berangkat haji itu bisa belasan hingga puluhan tahun dari saat pendaftaran.
Banyak motivasi yang tentu melatarbelakangi animo umat Islam untuk pergi berziarah ke Tanah Suci Mekkah kemudian menapaktilasi kisah perjuangan Nabi Ibrahim bersama istrinya Siti Hajar dan puteranya Nabi Ismail itu.
Secara sosial, orang dengan label haji di kalangan masyarakat tertentu di negeri ini mendapatkan kedudukan sangat tinggi. Sehingga haji menjadi puncak cita-cita dalam hidupnya. Meskipun punya jabatan tinggi, gelar akademik tinggi, bahkan harta melimpah, jika tidak berhaji, rasanya belum mendapatkan kedudukan sosial terhormat.
Dalam konteks inilah, maka kita umat Islam perlu merefleksi diri akan niat untuk menunaikan ibadah haji itu. Untuk tujuan sosial (hanya simbol) atau lebih pada isi (hakikat ibadah untuk mencari ridla Allah).
Dalam sebuah kisah sufi, ada seseorang yang tidak jadi berangkat ke Mekkah karena uangnya lebih didedikasikan untuk membantu pengobatan tetangganya yang miskin, tapi justru mendapatkan predikat haji mabrur dari Allah.
Alkisah ketika sedang melaksanakan wukuf dalam ritual haji, ada seseorang yang tertidur di tengah panasnya Padang Arafah. Dalam tidurnya seseorang itu kemudian bermimpi berjumpa dengan Rasulullah SAW. Menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan kekasih Allah SWT yang tidak tiap orang dapat menjumpainya, ia kemudian memberanikan diri bertanya.
"Wahai kekasih Allah SWT, siapakah di antara kami semua yang sedang melaksanakan haji ini, diterima ibadahnya dan menjadi haji yang mabrur?". Rasulullah SAW kemudian dengan nada berat menjawab "Tak seorang pun dari kalian yang diterima hajinya, kecuali seorang tukang cukur tetanggamu."
Mendengar jawaban dari Baginda Rasululah SAW, orang tersebut termenung. Ia sadar bahwa tukang cukur yang dimaksud adalah tetangganya yang miskin dan tidak pergi berhaji saat ini.
Tak lama kemudian ia terbangun, dan dengan perasaan gundah gulana, ia merenung mencari makna di balik mimpi yang dialaminya itu. Sekembali dari Mekkah, segera ia menemui tukang cukur yang dimaksud Rasulullah SAW dalam mimpinya itu. Ia menceritakan segala pengalaman selama berhaji dan pengalaman spiritual lewat mimpi yang dialaminya itu.
Lantas ia akhirnya bertanya pada tukang cukur itu, "Amalan dan ibadah apakah yang telah anda lakukan, sehingga Baginda Rasulullah SAW mengatakan bahwa anda telah menjadi haji yang mabrur?".
Mendapati cerita dan pertanyaan dari tetangganya itu, si tukang cukur kemudian terharu dan sujud syukur, kemudian dia menjelaskan bahwa sebenarnya ia telah lama mengidamkan untuk menunaikan ibadah haji. Bertahun-tahun ia menabung guna mewujudkan cita-citanya itu, dan pada saat tabungannya telah cukup untuk berangkat haji, bersiap-siaplah ia untuk berangkat melaksanakan haji. Tapi kemudian, belum lagi ia berangkat, ia mendapat kabar bahwa salah seorang tetangganya tertimpa musibah. Seorang anak yatim sedang sangat membutuhkan pertolongan guna pengobatan atas sakit parah yang dialaminya. Mendapati kenyataan tersebut, ia kemudian mengurungkan niatnya untuk haji, dan menyumbangkan seluruh tabungannya guna menyelamatkan anak yatim tetangganya itu. (Said Agil Siroj: 2015)
Mendengar cerita si tukang cukur itu, orang yang baru selesai melaksanakan haji itu kemudian tertunduk malu. Ia sadar, kita kadang begitu mengebu-gebu dalam mencari ridha Allah SWT, dan karenanya menutup mata kita atas apa yang terjadi atas diri orang lain. Ibadah-ibadah kita kemudian menjadi tidak suci lagi, karena di dalamnya tersemat sikap egois, ditumpangi nafsu dan jauh dari hakikat ibadah itu sendiri, yaitu rahmatan lil’alamin. Kisah ini diceritakan kembali dalam laman nu.or.id.
Dari kisah tersebut, tampaknya haji bukan sekadar ritual dalam konteks hubungan manusia dengan Allah, melainkan juga harus memerhatikan aspek sosial di sekitarnya, dalam pengertian isi, bukan simbol.
Islam mengajarkan kita untuk berpihak pada mereka yang tidak berdaya, seperti orang miskin, anak yatim dan yang terdzalimi.(*)