Tradisi Lebaran Ketupat berkembang di Indonesia. Pada Syawal 1438 Hijriah ini Lebaran Ketupat umumnya dilaksanakan pada Sabtu atau Minggu (1-2/6) mulai pagi hari. Sedangkan menu yang dihidangkan kupat sayur beserta kelengkapan lauk-pauk lainnya.
Lebaran Ketupat dirayakan pula desa-desa di wilayah Kabupaten Blitar hingga di Kota Blitar. Warga, khususnya umat Islam, menyiapkan masakan kupat dengan berbagai lauk pauk pelengkapnya, termasuk bubuk kacang dan sambal khas untuk dihidangkan kepada tamu.
Seperti yang dilakukan oleh Ny Widyorini Utami, warga Perumahan Pondok Delta, Kelurahan Kaweron, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar, yang menghidangkan masakan kupat untuk keluarga dan tamunya.
Ratusan kepala keluarga di perumahan yang secara administrasi masuk Lingkungan Jengglong, Kelurahan Kaweron tersebut, juga menyiapkan masakan kupat lengkap. Masing-masing KK dalam dua wadah (kreyeng, red) untuk acara halalbihalal dalam kenduri di Masjid Al Muwahidin di kompleks perumahan tersebut, Sabtu (1/6) petang sesudah shalat Maghrib.
Pada acara halalbihalal dalam "Kenduri Ketupat" itu, juga dihadirkan juru dakwah Kiai Adam Malik yang akrab disapa Gus Malik dari Dusun Klepon di kawasan Pasar Kutukan, Desa Sidodadi, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar.
Gus Malik mengawali "Mau'idhoh Hasanah" atau pemberian nasihat atau bimbingan untuk kebaikan itu dengan mengulas asal muasal halalbihalal (KBBI) atau masyarakat biasa menuliskan halal bi halal, yang merupakan "produk" khas asal Indonesia.
Disebutkan bahwa istilah "halal bi halal" dicetuskan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah, setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945. Diceritakan bahwa hingga sekitar tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elite politik bertengkar, tidak bisa duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi di mana-mana, di antaranya DI/TII, PKI di Madiun, Jawa Timur.
Penjelasan Gus Malik tersebut sama dengan yang disampaikan KH Masdar Farid Mas’udi, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, dalam tulisan berjudul "KH Wahab Chasbullah Penggagas Istilah 'Halal Bihalal'" yang disiarkan laman www.nu.or.id.
Pada tahun 1948, saat pertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya guna mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahim. Hal itu juga karena pada masa tersebut menyongsong Hari Raya Idul Fitri, dan umat Islam disunahkan bersilaturrahmi.
Tetapi Bung Karno menjawab, "Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain". "Itu gampang", jawab Kiai Wahab.
"Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus "dihalalkan". Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga dalam silaturrahmi digunakan istilah 'halal bi halal'", ujar Kiai Wahab.
Dari saran Kiai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara guna menghadiri silaturrahmi bertema 'Halal bi Halal'. Mereka akhirnya bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga oleh warga secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Jadi Bung Karno bergerak melalui instansi pemerintah, sementara Kiai Wahab menggerakkan warga dari bawah. Jadilah HalalbiHalal sebagai kegitan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang.
Kegiatan halalbihalal sebenarnya sudah dimulai sejak zaman KGPAA Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Setelah Idul Fitri, beliau menyelenggarakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.
Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Kemudian budaya seperti ini ditiru oleh masyarakat luas termasuk organisasi keagamaan dan instansi pemerintah. Akan tetapi itu baru kegiatannya bukan nama dari kegiatannya. kegiatan seperti dilakukan Pangeran Sambernyawa belum menyebutkan istilah "HalalbiHalal", meskipun esensinya sudah ada.
Istilah "halalbihalal" ini secara nyata dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah dengan analisa pertama (thalabu halal bi tharîqin halâl) adalah: mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Atau dengan analisis kedua (halâl "yujza'u" bi halâl) adalah: pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.
Pada halalbihalal di Masjid Al Muwahidin yang dikemas dalam "Kenduri Ketupat" itu, warga yang masing-masing membawa dua kreyeng masakan ketupat, duduk melingkar memenuhi serambi masjid tersebut.
Setelah mendengarkan "Mau'idhoh Hasanah" yang disampaikan Kiai Adam Malik, dan dilanjutkan doa, "berkat" kenduri ketupat pun dibagikan kepada semua warga yang hadir, termasuk undangan. "Berkat" kenduri ketupat tersebut kemudian dibawa pulang untuk dinikmati di rumah masing-masing.
Menurut Ustadz Suratman, Takmir Masjid Al Muwahidin selaku ketua panitia, tradisi Kenduri Ketupat dalam halalbihalal di masjid itu berkembang sejak tahun 1990-an. Halalbihalal dalam Kenduri Ketupat itu terutama berkembang di masjid di wilayah kota atau yang masyarakatnya umumnya pegawai, pekerja, tidak hanya tani.
Masyarakat di Perumahan Pondok Delta itu, awalnya setiap usai Idul Fitri mengadakan Halalbihalal dengan disediakan aneka kue. Tapi kegiatan itu berjalan beberapa tahun, masyarakat yang hadir semakin sedikit.
Karena itu, pengurus masjid dan tokoh masyarakat setempat kemudian mengikuti tradisi di masjid-masjid lain, yakni mengadakan halalbihalal di masjid sekaligus selamatan atau kenduri dengan membawa masakan ketupat untuk kemudian dibagi-bagikan dan dinikmati.
Menurut Ustadz Shohibul Fauzi, salah seorang imam di Masjid Al Muwahidin, tradisi Kenduri Ketupat dalam Halalbihalal tersebut dari tahun ke tahun semakin berkembang, hampir semua warga Muslim di perumahan tersebut mengikutinya, karena mereka menganggap kegiatan tersebut sesuai dengan keinginan warga.
"Kan warga selama ini biasa menyiapkan hidangan ketupat seusai Idul Fitri. Jika sebelumnya hidangan ketupat hanya untuk suguhan tamu dan keluarga, maka melalui kenduri ini ada manfaat lebih, yakni ada kebersamaan dan disertai juga dengan doa. Tradisi Lebaran Ketupat ini ibaranya mendapatkan tempat melalui kenduri yang disertai doa," ujar Ustadz Fa, sapaan akrab Shohibul Fauzi. (*)
Tradisi Kenduri Ketupat dalam Halalbihalal di Blitar
Minggu, 2 Juli 2017 7:32 WIB
"Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus "dihalalkan". Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga dalam silaturrahmi digunakan istilah 'halal bi halal'", ujar Kiai Wahab.