Surabaya (ANTARA) - Ketika seseorang di sekitar kita mengalami gangguan jiwa berat, langkah yang seharusnya diambil adalah meminta bantuan tenaga profesional, seperti psikiater atau psikolog.
Namun, kenyataannya, banyak masyarakat justru memilih cara yang keliru: memasung. Stigma negatif terhadap gangguan jiwa menjadi salah satu alasan utama mengapa masyarakat enggan mencari pertolongan medis yang tepat.
Pemasungan, tindakan membatasi gerak seseorang dengan gangguan fungsi mental dan perilaku melalui pengekangan fisik, kerap dilakukan tanpa memikirkan dampak jangka panjang.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, angka pemasungan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih memprihatinkan.
Pada 2019, tercatat 4.989 kasus pemasungan, meningkat menjadi 6.452 kasus pada 2020. Meskipun sempat menurun menjadi 2.332 kasus pada 2021, angkanya kembali naik pada triwulan II 2022, mencapai 4.304 kasus.
Pemasungan memberikan dampak serius, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Data menunjukkan bahwa 21 persen ODGJ yang dipasung mengalami cedera atau kondisi kesehatan yang semakin memburuk.
Lebih dari itu, pemasungan menghalangi mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti akses terhadap perawatan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.
Mengapa praktik ini masih terjadi di era modern? Ada beberapa faktor penyebabnya. Anggapan bahwa gangguan jiwa adalah aib keluarga menjadi salah satu alasan utama. Selain itu, mitos dan kesalahpahaman tentang gangguan jiwa memperparah situasi.
Ketidaktahuan masyarakat tentang perilaku normal dan abnormal, ditambah anggapan bahwa pemasungan adalah solusi praktis, menjadikan praktik ini tetap bertahan.
Mayoritas korban pemasungan adalah ODGJ dengan kondisi berat, seperti depresi berat, skizofrenia, dan gangguan bipolar. Kondisi ini sering ditandai oleh halusinasi, gangguan proses berpikir, hingga perilaku agresif atau tidak wajar. Sayangnya, bukannya mendapat perawatan medis yang layak, mereka justru menjadi korban dari stigma dan tindakan yang tidak manusiawi.
Saatnya masyarakat menyadari bahwa gangguan jiwa bukanlah aib, melainkan kondisi medis yang membutuhkan penanganan profesional.
Dengan edukasi yang tepat, stigma dapat dihapuskan, dan praktik pemasungan yang melanggar hak asasi manusia ini dapat dihentikan. Jangan biarkan stigma terus membelenggu, sementara solusi sudah ada di depan mata.
*) Penulis adalah Mahasiswi FK Universitas Airlangga 2024