Surabaya (ANTARA) -
Revolusi digital yang tengah berlangsung telah menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dunia kearsipan yang selama ini identik dengan dokumen fisik dan proses manual.
Transformasi ini dipercepat dengan kehadiran kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI), teknologi canggih yang memungkinkan komputer untuk meniru cara berpikir dan mengambil keputusan seperti manusia.
Secara umum, kecerdasan buatan didefinisikan sebagai kemampuan sistem komputer untuk melakukan tugas-tugas yang memerlukan kecerdasan manusia, seperti pembelajaran, penalaran, pemecahan masalah, dan pemahaman bahasa alami.
Integrasi AI dalam bidang kearsipan membawa dampak besar yang bersifat transformatif, baik dalam aspek teknis maupun konseptual pengelolaan arsip.
Dalam konteks pengelolaan arsip, AI dapat dimanfaatkan untuk berbagai proses, mulai dari digitalisasi, pengklasifikasian otomatis, ekstraksi data dan metadata, pemindaian dokumen berbasis teknologi Optical Character Recognition (OCR), hingga pelestarian arsip digital yang rentan terhadap degradasi media.
Manfaat utama penerapan AI dalam kearsipan terletak pada efisiensi dan akurasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan metode konvensional.
Sistem berbasis AI mampu mengolah ribuan bahkan jutaan dokumen dalam waktu singkat, serta mengidentifikasi pola atau informasi penting yang mungkin terlewatkan oleh manusia.
Sebagai contoh, sistem klasifikasi otomatis dapat mengkategorikan dokumen berdasarkan isi dan konteksnya tanpa intervensi manusia secara langsung, sehingga sangat menghemat waktu dan tenaga para arsiparis.
Namun, kemajuan teknologi ini juga membawa sejumlah tantangan yang perlu dicermati secara serius.
Pertama, kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia masih menjadi kendala utama, terutama di lembaga-lembaga pemerintah atau institusi yang belum sepenuhnya melakukan transformasi digital.
Kedua, penggunaan AI yang melibatkan data arsip sensitif harus memperhatikan aspek etika dan perlindungan privasi.
Ketiga, kualitas arsip yang akan diolah menjadi penentu keberhasilan teknologi AI, sebab sistem ini membutuhkan data yang bersih, lengkap, dan terstruktur dengan baik.
Selain aspek teknis dan infrastruktur, tantangan lain datang dari sisi regulasi dan kebijakan.
Belum semua lembaga memiliki pedoman yang jelas mengenai penggunaan teknologi AI dalam pengelolaan arsip. Ketiadaan kerangka hukum yang adaptif dapat menimbulkan risiko penyalahgunaan data atau ketidakakuratan dalam proses otomasi.
Oleh karena itu, peran pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang berpihak pada inovasi, namun tetap melindungi prinsip-prinsip kearsipan sangatlah penting.
Meski demikian, peluang yang ditawarkan AI dalam dunia kearsipan sangat besar. Teknologi pembelajaran mesin (machine learning) dapat membantu sistem belajar dari data masa lalu untuk meningkatkan keakuratan klasifikasi dan pencarian arsip.
Sementara itu, teknologi pemrosesan bahasa alami (natural language processing/NLP) memungkinkan sistem untuk memahami dan menganalisis dokumen dalam bahasa manusia, yang sangat berguna dalam mengekstraksi informasi dari naskah panjang seperti laporan, notulen, dan surat dinas.
Perlu ditekankan bahwa meskipun AI dapat mengambil alih sejumlah tugas teknis, peran manusia sebagai kurator arsip tetap tak tergantikan. AI seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti.
Arsiparis tetap memiliki peran penting dalam menjaga autentisitas, integritas, dan nilai historis arsip. Oleh karena itu, integrasi AI harus dilakukan dengan pendekatan yang kolaboratif, dimana teknologi dan manusia saling melengkapi.
Pengalaman saya sebagai Arsiparis Ahli Muda di Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) menunjukkan bahwa transformasi digital tidak hanya soal teknologi, tetapi juga tentang perubahan budaya organisasi.
Dalam jurnal saya yang berjudul Implementasi Teknologi Digital dalam Modernisasi Kearsipan di Lingkungan Kementerian Keuangan, saya menggarisbawahi pentingnya kolaborasi lintas bidang, termasuk antara teknolog, arsiparis, dan pengambil kebijakan.
Transformasi digital dalam kearsipan memerlukan sinergi antara peningkatan literasi teknologi, penguatan kompetensi sumber daya manusia, serta kesiapan kebijakan yang adaptif.
Pelatihan berkelanjutan dan program pengembangan kapasitas bagi arsiparis menjadi kunci untuk mengoptimalkan pemanfaatan AI.
Selain itu, dibutuhkan strategi komunikasi organisasi yang mampu menginternalisasi pentingnya inovasi digital secara menyeluruh kepada seluruh elemen lembaga.
Sebagai mahasiswa doktoral dalam bidang Ilmu Komunikasi, saya meyakini bahwa dimensi komunikasi memegang peran strategis dalam keberhasilan adopsi teknologi seperti AI dalam kearsipan.
Komunikasi yang efektif dan partisipatif antara pengembang teknologi, pelaksana kebijakan, dan pengguna akhir sangat menentukan bagaimana teknologi diterima dan diimplementasikan secara optimal.
Oleh karena itu, pendekatan komunikasi strategis yang inklusif menjadi fondasi penting dalam proses transformasi digital ini.
Pada akhirnya, masa depan kearsipan di era digital sangat bergantung pada bagaimana kita mampu mengadopsi teknologi dengan bijak.
AI bukanlah ancaman, melainkan peluang besar yang dapat meningkatkan kualitas layanan kearsipan, memperkuat pelestarian dokumen bersejarah, serta mempercepat akses publik terhadap informasi.
Dengan kolaborasi yang erat antara teknologi dan kemanusiaan, sistem kearsipan masa depan dapat menjadi lebih tangguh, adaptif, dan relevan dengan kebutuhan zaman.
Kita memasuki era di mana data menjadi aset paling berharga, dan arsip memainkan peran penting dalam menjaga memori kolektif bangsa.
Oleh karena itu, inovasi berbasis AI dalam kearsipan bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk memastikan keberlangsungan dan kemajuan pengelolaan informasi publik di masa mendatang.
*) Penulis adalah mahasiswa S3 Ilmu Komunikasi, Universitas Sahid Jakarta Arsiparis Ahli Muda di Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK)
