Surabaya, (Antara Jatim) - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya akan melanjutkan pembangunan "frontage road" atau jalan paralel dengan jalur utama di Jalan Ahmad Yani sisi barat pada awal Mei, meski sejumlah ahli waris yang menempati persil kawasan tersebut masih bersengketa.
"Seperti terpampang di papan proyek yang telah kami dirikan. Pembangunan lanjutan frontage road sisi barat Jalan Ahmad Yani akan kami mulai awal bulan Mei," kata Kepala Bidang Jalan dan Jembatan Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pematusan Ganjar Siswo Pramono, saat dikonfirmasi di Surabaya, Kamis.
Dia mengatakan, papan proyek yang menerangkan jadwal serta lama pengerjaan frontage road dari depan bundaran Bulog yang akan terhubung hingga frontage road yang telah selesai dibangun terlebih dahulu di depan Polda Jatim itu bisa dilihat di dua titik.
"Papan proyeknya telah kita tancapkan di dua titik, sehingga masyarakat bisa melihatnya di depan Kantor Dinas Kesehatan Pemprov Jatim dan depan Rumah Sakit Islam Wonokromo," ucapnya.
Bahkan, dia menambahkan, sebelum pembangunannya dimulai, sejak beberapa pekan terakhir, di kawasan persil yang akan dibangun telah didahului dengan pengukuran oleh pihak kontraktor bersama petugas berwenang dari instansi terkait Pemkot Surabaya.
Lantas, apakah urusan pembebasan lahan dengan warga pemilik persil sudah beres semuanya? Ganjar mengaku tidak berwenang menjawab pertanyaan itu.
Terakhir, informasi pembebasan lahan frontage road sisi barat Jalan Ahmad Yani dari kawasan bundaran Bolog diungkapkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat peresmian frontage road sisi barat yang telah selesai dibangun di kawasan depan Polda Jawa Timur hingga depan Royal Plaza pada awal Januari lalu.
Saat itu Risma mengatakan tinggal dua persil yang masih konsinyasi, sedangkan yang lainnya sudah kelar semua tinggal bongkar.
Ternyata, saat penghuni dua persil yang menempati Jalan Ahmad Yani 138A dan 138B ditemui, menyatakan urusan ganti rugi pembebasan lahan masih belum selesai.
Masing-masing luasnya sekitar 92 meter persegi untuk persil di Jalan Ahmad Yani 138A dan 300 meter persegi untuk persil di Jalan Ahmad Yani 138B.
"Yang menjadi persoalan adalah persil di Jalan Ahmad Yani 138B, yang saat ini ditempati oleh dua saudara kandung saya, yaitu Abdul Karim dan Watini," ujar Kasipan, penghuni persil di Jalan Ahmad Yani 138A.
Dia mengatakan persil yang ditempati dua adik kandungnya itu tiba-tiba dicaplok oleh saudara iparnya, Widi Astutik yang telah menyodorkan secarik kertas hibah sebagai tanda kepemilikan kepada Pemkot Surabaya.
Kasipan menjelaskan, persil yang ditempati dua adik kandungnya saat ini, dulunya adalah milik bibinya, Dewi, yang tentunya bibi Widi Astutik juga, dengan status tanah Surat Tanda Hak Milik (STHM), yang persoalannya sudah lama hilang.
"Bibi saya sudah meninggal dan tidak memiliki anak," jelasnya. Kasipan menyebut surat hibah dari bibinya kepada Widi Astutik adalah palsu. "Karena kami, pihak keluarga dan ahli waris lainnya tidak pernah tahu perihal hibah tersebut," ungkapnya.
Sementara Pemkot Surabaya akan membayarkan ganti rugi pembebasan lahan kepada Widi Astutik berdasarkan bukti kepemilikan secarik kertas hibah tersebut.
Semakin rumit karena Kasipan pun tidak akan menyerahkan persil yang ditempatinya jika Pemkot Surabaya akan membayarkan ganti rugi persil milik almarhum bibinya yang kini ditempati dua adik kandungnya itu kepada Widi Astutik.
"Belum lama lalu Pemkot sudah mau membayar senilai Rp15 juta per meter untuk persil yang saya tempati. Saya tolak karena untuk persil yang ditempati dua adik saya ganti ruginya akan diserahkan kepada Widi Astutik," tegasnya.
Sementara Ganjar menyatakan tidak tahu kalau masih ada sengketa di antara ahli waris penghuni persil pada lahan frontage road sisi barat Jalan Ahmad Yani yang telah dijadwalkan akan dibangun dalam kurun waktu sepekan mendatang. "Sebab saya sudah tidak mengurusi pembebasan lahan lagi," ucapnya.(*)
Pemkot Surabaya Lanjutkan "Frontage Road" Awal Mei
Kamis, 27 April 2017 16:10 WIB
Persil yang ditempati dua adik kandungnya saat ini, dulunya adalah milik bibinya, Dewi, yang tentunya bibi Widi Astutik juga, dengan status tanah Surat Tanda Hak Milik (STHM), yang persoalannya sudah lama hilang