Jombang (Antara Jatim) - Jaringan Islam Anti-Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur mengkritik terkait dengan kebijakan penetapan Rancangan Peraturan Daerah (Perda) Pelarangan Minuman Beralkohol oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya, yang dinilai tidak mencerminkan keberagaman masyarakat di Surabaya.
"Pengesahan Raperda Pelarangan Minuman Beralkohol di Surabaya yang hanya melibatkan kelompok tertentu dan mengabaikan kelompok minoritas, dan ini telah mengancam keberagaman di Kota Pahlawan yang dikenal sebagai miniatur keberagaman di Indonesia," kata Koordinator JIAD Jatim Aan Anshori di Jombang, Selasa.
Aan mengatakan minuman beralkohol bagi sebagian komunitas lekat dengan religi tertentu. Bahkan, di Surabaya terdapat komunitas adat Bali yang menggunakan arak dalam upacara keagamaan tertentu. Selain itu, kelompok Nasrani dan Katolik juga ada yang menggunakan anggur dalam perayaan Misa dan perjamuan kudus.
"Dalam menjalankan ibadahnya, tidak mungkin anggur diganti dengan sirup. Hal yang sama juga dengan komunitas adat Bali di Surabaya. Jika memang telah dilarang, namun gereja masih menggunakan anggur apakah anggur itu didapatkan secara ilegal?" ucap Aan, mempertanyakan.
Aan juga menambahkan, dalam pembahasan Raperda Pelarangan Minuman Beralkohol di Surabaya tersebut, kelompok minoritas absen. Dengan itu, sebenarnya melanggar Pasal 27 Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik, yang kemudian diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
Dalam UU itu, paragraf 5 ayat (1) dan 5 ayat (2) pada Komentar Umum Nomor 23 yang menjelaskan tentang Pasal 27, menjelaskan bahwa mereka yang dilindungi ialah mereka yang dalam kelompok tertentu dan memiliki kesamaan budaya, agama dan atau bahasa tidak boleh dilanggar haknya saat bersama anggota kelompoknya mempraktikkan budaya, menjalankan agama dan bicara dengan bahasannya.
Lebih lanjut, dalam paragraf 6 ayat (2) pada komentar umum juga menyatakan bahwa hak-hak minoritas harus dilindungi dari tindakan-tindakan negara, baik itu legislatif, yudikatif dan administratif, tidak terkecuali juga orang-orang lain di dalam negara.
Aan juga mengatakan pelarangan untuk memproduksi, memperdagangkan dan mengonsumsi minuman beralkohol tersebut itu juga melanggar aspek-aspek hak asasi manusia lainnya, terutama hak atas kesehatan yang terkandung dalam Konvenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005.
Ia menambahkan, raperda itu juga menabrak aturan di atasnya yaitu Kementerian Perdagangan, yang telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan tentang pengendaliaan dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran dan penjualan minuman beralkohol.
Bahkan, raperda tersebut dimungkinkan juga akan meningkatkan peredaran minuman oplosan dan masalah kesehatan baru di Kota Surabaya.
"Saya bisa memahami efek negatif dari penyalahgunaan minuman beralkohol jenis tertentu, namun regulasi yang tidak tepat yaitu pelarangan justru akan menimbulkan masalah baru, seperti kriminalitas, praktik suap hingga perdagangan gelap minuman beralkohol yang dikuasai oleh mafia," katanya, menegaskan. (*)