Surabaya, (Antara Jatim) - Serikat Pengajar HAM Indonesia atau SEPAHAM menilai jika tahun 2015 banyak tekanan ancaman kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik.
Ketua Serikat Pengajar HAM Indonesia SEPAHAM, Dr. R. Herlambang P. Wiratraman, Kamis, mengatakan pembubaran diskusi dan pemutaran film di berbagai kampus dan kota, terutama terkait film "Senyap, Samin v. Semen, Prahara Tanah Bongkoran", memperlihatkan dinamika pemikiran dan ekspresi telah dibungkam.
"UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang menjerat ekspresi melalui media sosial, terutama dalam kasus pencemaran nama baik (cyber defamation), Surat Edaran Kapolri soal Hate Speech, serta penggunaan kriminalisasi, menjadi isu dominan atas tekanan dan ancaman itu," katanya dalam siaran pers menyikapi Peringatan Hari HAM Internasional 2015.
Menurutnya, stigmatisasi komunisme memperlihatkan ideologi dan karakter otoritarianisme Orde Baru masih kuat diusung.
"Di sisi lain, kampus masih belum menunjukkan posisi pentingnya sebagai praesidium libertatis (benteng pertahanan kebebasan), karena selalu takut di bawah ancaman premanisme atas nama agama maupun pendidikan," katanya.
Sebaliknya, kata dia, kampus justru terlibat merepresi sebagaimana terlihat dalam pemaksaan majalah mahasiswa Lentera di UKSW.
"Belum lagi, kampus melahirkan proses pendisiplinan pendidik dan mahasiswa dalam skema komersialisasi yang disponsori negara sehingga menjadikan kampus-kampus di tanah air tak ubahnya seperti mesin industri sebuah korporasi pendidikan (state sponsored higher education corporatism)," katanya.
Menurutnya, tekanan dan ancaman itu jelas persoalan pelanggaran hak asasi manusia, yang akan berdampak terhadap upaya pendidikan tinggi sebagai upaya kesejahteraan sosial yang meluas.
"Atas dasar ini, kami menyeru kepada Pemerintah, penyelenggara pendidikan serta asosiasi akademisi untuk bersama-sama meneguhkan komitmen atas mandat UUD 1945, khususnya pasal Pasal 28C (1) yang berbunyi setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia," katanya.
Selain itu, kata dia, melawan segala bentuk intervensi yang mengancam dan menekan dengan cara-cara kekerasan terhadap segala aktifitas akademik dan kebebasan ekspresi.
"Menghentikan cara-cara berfikir dan tindakan yang mencerminkan anti kebebasan, serta karakter otoritarianisme Orba di kampus-kampus," katanya.
Pihaknya juga mendorong supaya memperkuat mandat Deklarasi Lima, 1988, Pasal 1, yang menegaskan kebebasan akademik sebagai "the freedom of members of the academic community, inividually or collectively, in persuit, development and transmission of knowledge, through research, creation, teaching, lecturing and writing".
"Selain itu juga memperkuat solidaritas kebebasan akademik di tanah air serta di kawasan, sebagaimana keyakinan kami otonomi keilmuan diperlukan sebagai basis etis dan progresif dalam menjadikan kampus sebagai pengawal pembaruan sosial dan bangunan peradaban kemanusiaan yang lebih humanis," katanya.(*)