Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia mendesak pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 ditunda untuk penyelamatan hak asasi manusia yang sedang berjuang melawan virus Corona di tengah pandemi COVID-19.
"Desakan untuk menunda Pilkada 2020 telah disuarakan banyak pihak, termasuk dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, namun diabaikan," kata Koordinator SEPAHAM Indonesia Al Hanif PhD di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa.
Menurutnya DPR (Komisi II), pemerintah dan penyelenggara pemilu telah menyetujui tetap melaksanakan pilkada pada 9 Desember 2020 dan persetujuan itu dilakukan sambil mengimbau pada warga masyarakat soal perlunya tetap menjaga protokol kesehatan COVID-19.
"Kesepakatan itu justru terjadi saat laju angka penyebaran COVID-19 semakin terus naik, termasuk angka korban meninggal dunia yang terus bertambah," tuturnya.
Bahkan di hari yang sama pada 21 September 2020, kembali rekor tertinggi konfirmasi positif sebanyak 4.176 orang, sehingga total konfirmasi mencapai 249.852 orang, bahkan angka kematian akibat COVID-19 mencapai 9.677 kasus.
"Pemerintah hari ini gagal mengendalikan laju angka korban akibat virus Corona dan tanda-tanda penurunan angka korban belum terjadi. Bahkan para pejabat di kementerian, KPU, Bawaslu, dan juga mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu justru terinfeksi COVID-19," katanya.
Ia mengatakan desakan untuk menunda Pilkada 2020 telah disuarakan banyak pihak, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, serta belum lagi begitu banyak tokoh masyarakat, organisasi masyarakat sipil dan koalisi-koalisi yang peduli hak rakyat mendesakkan hal serupa.
"Suara rakyat yang demikian, membuat kami, para akademisi, peneliti, dari pusat-pusat studi hak asasi manusia yang ada di berbagai kampus, turut menyuarakan hal yang sama agar pemerintah menunda Pilkada 2020," katanya.
SEPAHAM Indonesia, lanjut dia, menyatakan sikap mengecam keras persetujuan bersama DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu yang terus melanjutkan Pilkada 2020.
"Bagi kami, keputusan itu tak hanya memperlihatkan ketidakpekaan atas suara rakyat, melainkan pula mengabaikan penyelamatan hak-hak dasar warga yang kini semua sedang berjuang menghadapi pandemi COVID-19," ucap Al Hanif yang juga Ketua Centre for Human Rights, Muliculturalism, and Migration (CHRM2) Universitas Jember itu.
Ia menilai alasan Presiden Jokowi melalui juru bicara Fajroel Rahman yang menyatakan Pilkada 2020 tetap dilaksanakan sebagai bentuk demokrasi konstitusional adalah pernyataan yang manipulatif dan mengerdilkan makna demokrasi itu sendiri dan korup atas tafsir konstitusional, yang sesungguhnya mengatur hak-hak hidup, keselamatan warga dan perlindungan kesehatan yang pula sebagai hak-hak konstitusional.
"Keputusan tetap melanjutkan tahapan pilkada bagi kami merupakan kejahatan negara atas hak-hak asasi manusia karena pembiaran atas pertaruhan korban dan nyawa banyak warga, apalagi di tengah pemerintah yang dinilai gagal mengendalikan pandemi sejak tujuh bulan lalu," katanya. (*)
SEPAHAM Indonesia: Pilkada 2020 dilanjutkan abaikan penyelamatan hak-hak dasar warga
Selasa, 22 September 2020 16:45 WIB
Keputusan tetap melanjutkan tahapan pilkada bagi kami merupakan kejahatan negara atas hak-hak asasi manusia karena pembiaran atas pertaruhan korban dan nyawa banyak warga,