\"Tak tergantikan,\" ucap seorang murid saat memberi penilaian kepada sang maestro musik kontemporer, Slamet Abdus Sjukur, yang menghembuskan napas terakhir pada 24 Maret 2015. Murid itu adalah Gema Swaratyagita. \"Saya muridnya yang di Surabaya, saya mengenal beliau mulai 2006-2007,\" tuturnya saat melayat ke rumah duka di Jalan Pirngadi 3, Surabaya pada Selasa (24/3) siang itu. Namun, ungkapan \"tak tergantikan\" untuk sang pioner musik kontemporer di Indonesia itu pun tidak mampu didefinisikan secara gamblang. \"Sulit digambarkan, yang jelas ilmu bermusiknya sangat luas, bukan hanya musik, tapi ada organologi, etnologi, astronomi, arkeologi, dan banyak lagi,\" tukasnya. Pokoknya, seniwati muda Surabaya itu mengaku belajar banyak dari sang maestro yang amat dikagumi, baik karya maupun kesehariannya. \"Beliau nyentrik, humoris, celetukannya cerdas. Beliau juga sederhana banget, nggak neko-neko, nggak banyak omong, tapi ilmunya... tak tergantikan,\" ujarnya. Apalagi, sang maestro kelahiran Surabaya pada 30 Juni 1935 itu tidak pelit berbagi wawasan, karenanya ia merintis Pertemuan Musik Surabaya (PMS) sejak 1957. \"Sepengetahuan saya, PMS itu sempat vakum, lalu tahun 2006 dihidupkan lagi dan saya ikut gabung, bahkan dikembangkan juga dengan ada Pertemuan Musik Jakarta (PMJ),\" timpalnya. Tidak hanya itu, Gema Swaratyagita juga memiliki kesan yang takkan pernah terlupakan saat dirinya menjadi panitia HUT ke-79 sang guru melalui Konser \"Sluman Slumun Slamet\" di Surabaya, Jakarta, dan berakhir di Yogyakrta. \"Beliau sangat senang dengan konser yang kita kelilingkan dari Surabaya pada Juni 2014, lalu Agustus 2014 di Jakarta, dan akhirnya di Yogyakarta pada bulan Desember itu,\" paparnya. Baginya, konser yang melibatkan dirinya sebagai panitia itu merupakan kesempatan berproses dengan sang maestro. \"Saat konser di Surabaya, beliau main piano tobor, lalu saya disuruh mengiringi dengan ucapan-ucapan, teatrikal-lah,\" ujarnya. Agaknya, Gema Swaratyagita tidak berlebihan, karena sang maestro yang sempat menempuh pendidikan formal di Sekolah Musik Indonesia \"Semind\" Yogyakarta (1952-1956) itu memang memiliki cara-cara tersendiri dalam bermusik. Sang maestro yang juga sempat mendapatkan beasiswa untuk belajar musik dari Pemerintah Prancis (1962-1967) dan memperdalam organologi di Ecole Normale de Musique itu menginspirasinya untuk mengembangkan cara bermusik. Ya, Slamet Abdus Sjukur mengajarkan kepada banyak orang bahwa musik sesungguhnya dimulai dari diam atau tidak ada bunyi sama sekali. Lantunan musik bagi seorang Slamet adalah tepukan tangan pada mulut yang terbuka, gesekan kain panjang kaum perempuan ketika berjalan, bunyi gesekan sapu di jalanan, bahkan juga bunyi ketiak yang ditutup dengan telapak tangan. Pada hakekatnya, musik bukan monopoli milik orang musik saja. Musik adalah milik semua orang dan bisa dimainkan dengan alat apa saja. Bahkan desir angin, gesekan daun, gemericik air, itu semua sebenarnya sudah musik. Kehilangan Jejak bermusik yang \"tidak umum\" tapi \"tidak tertandingi\" itu justru membuahkan sederet penghargaan, seperti Medali Perunggu dari Festival de Jeux d\'Automne in Prancis (1974) dan Piringan Emas dari Académie Charles Cros di Prancis (1975) untuk karyanya berjudul Angklung. Selain itu, Medali Zoltán Kodály dari Hungaria (1983), Anugerah sebagai Pioner Musik Alternatif dari Majalah Gatra (1996), Anggota Kehormatan di Akademi Jakarta untuk seumur hidup (2002), dan penghargaan dari Gubernur Jawa Timur karena dedikasinya pada musik (2005). Oleh karena itu, kepergian sang maestro yang menorehkan banyak prestasi dan menebar banyak wawasan itu menjadi kehilangan yang tak tergantikan. Sebutlah Marti, anak angkat yang juga sekretaris dari sang maestro yang sangat kehilangan sosok yang sempat berpesan kepada dirinya agar dimakamkan di Boyolali, namun keluarga akhirnya memutuskan pemakaman di Surabaya. \"Sejak masuk rumah sakit, setiap menyuapi makanan, beliau selalu bilang ingin dimakamkan di Boyolali, saya tidak tahu alasannya,\" ungkap anak angkat asal Boyolali itu di rumah duka, Jalan Pirngadi 3, Surabaya. Dengan isak tangis, ia meminta maaf kepada ayah angkatnya itu, karena tidak bisa memenuhi keinginan yang disampaikan kepadanya sejak merawatnya di Graha Amerta RSUD dr Soetomo Surabaya pada Senin (9/3) lalu hingga Selasa (24/3). \"Saya minta maaf, karena saya nggak bisa memenuhi wasiat Bapak,\" tegasnya tentang keinginan almarhum yang menghembuskan napas terakhir di rumah sakit itu pada Selasa (24/3) sekitar pukul 06.00 WIB itu. Dengan mata agak sembab, Marti menceritakan kesehatan pemusik kelahiran Surabaya pada 30 Juni 1935 itu tidak pernah ada masalah. \"Beliau juga tidak mau disuntik, kalau sakit selalu minta saya beli obat,\" urainya. Selain itu, almarhum dalam beberapa bulan terakhir juga sering berada di Surabaya. \"Kalau saya tanya, dia bilang kepada saya bahwa beliau ke Surabaya untuk membuat buku, kalau di Jakarta tidak mungkin,\" tandasnya. Bagi Marti yang sudah mengabdi sejak 1993 hingga dijadikan anak angkat itu, sosok Slamet Abdul Sjukur itu tidak bisa digambarkan kebaikannya. \"Luar biasa, itulah kebaikan beliau,\" katanya. Rasa kehilangan juga diceritakan keponakan almarhum, Hermadi FK, yang merupakan anak dari dokter spesialis anak Prof Dr H Moch Faried Kaspan SpA (adik almarhum). Menurut dia, pakdenya itu memang tidak mempunyai penyakit dan sakit yang diderita menjelang meninggal dunia itu akibat terjatuh di rumahnya di Jalan Urip Sumoharjo, Surabaya. \"Kayaknya pakde saat itu keluar dari kamar mandi, lalu jatuh dalam posisi terduduk, sehingga tulang kakinya ada yang patah pada Senin (9/3) lalu sekitar pukul 08.00 WIB,\" kupasnya. Hermadi F Kaspan itu menyatakan dirinya sempat meminta almarhum untuk dibawa ke rumah sakit tapi menolak. \"Akhirnya, sekitar pukul 16.30 WIB, pakde baru mau dibawa ke Graha Amerta, karena mungkin sudah tidak kuat menahan sakit, tapi pakde tetap tidak mau dioperasi, karena alasan usia yang sudah tua, pakde hanya mau pakai kursi roda,\" katanya. Namun, pakde yang dikenalnya supel, baik sekali, suka humor, dan sangat sosial itu pun harus menyerah untuk mengikuti \"musik\" dari Sang Maha Maestro di alam sana. (*)
Berita Terkait
Slamet Abdul Sjukur Ingin Dimakamkan di Boyolali
24 Maret 2015 16:29
Komponis Kontemporer Indonesia Slamet Abdul Sjukur Meninggal Dunia
24 Maret 2015 13:54
