Saat ini banyak traveler yang pamer dan bangga karena dengan sedikit modal bisa pergi ke luar negeri. Mereka kemudian membuat buku, umpanya berjudul, \"Rp2 Juta Mutar-mutar Eropa\". Itu tidak terlalu hebat. Masih kalah dari kiai asal Madura ini. \"Rp0 bisa keliling Berlin\". Bekalnya cuma kopiah hitam, serban dan puisi. Kalau disederhanakan lagi, lelaki bernama M. Faizi ini sebetulnya hanya berbekal puisi. Kisah pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, Madura, pergi ke Jerman bertiket puisi ini didokumentasikannya dalam buku berjudul \"Merentang Sajak Madura-Jerman; Sebuah Catatan Perjalanan ke Berlin\". Andai tidak berlebihan, bisa dikatakan, anekdot \"Madura Dilawan,,,,\" menemukan faktanya di buku ini. Berawal dari kegemarannya pada dunia merangkai kata, Faizi berjumpa dengan Martin Jankowski, penyair dan penulis yang tinggal di Jerman, pada suatu acara sastra di Sumenep pada 2006. Pertemuan berlanjut pada \"Ubud Writer\'s and Readers Festival 2008\". Martin yang memberi pengantar dalam buku ini mengemukakan sajak-sajak M Faizi begitu brilian. Atas alasan inilah Martin kemudian mengundang Faizi dan sejumlah penyair lainnya, seperti Jamal D Rahman (asal Sumenep) dan Sosiawan Leak (Solo) ke Berlin dalam kegiatan kesusastraan pada pekan terakhir Juni hingga awal Juli 2011. Cerita diawali dari perjalanan antara Sumenep ke Jakarta. Bus adalah pilihan paling membahagiakan bagi lelaki yang di Madura biasa dipanggil lora ini. Lora adalah panggilan untuk kiai muda yang kalau di Jawa dikenal dengan istilah gus. Membaca cerita soal naik bus saja, kita bisa menyimpulkan bahwa Faizi adalah pemerhati hal-hal detail dan cermat. Mulai dari suasana di dalam kabin maupun di luar bus. Sangat kelihatan bahwa baginya tidak ada waktu menganggur, kecuali saat terlelap dalam buaian pegas bus. Membaca buku ini kita seperti menjadi bagian dari perjalanan yang dari Sumenep menuju Bandara Soekarno Hatta Jakarta ini ada sedikitnya dua adegan menegangkan. Ketegangan pertama terjadi ketika dalam pemesanan tiket bus yang akan dinaiki oleh kiai lulusan magister filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini, penuh penumpang. Bahkan ruangan untuk area perokok pun diisi sebagaimana layaknya kabin biasa. Kedua, ketika dari satu tempat di Jakarta menuju bandara. Ketegangan dipicu oleh kemacetan jalanan Jakarta di akhir pekan. Hari Jumat adalah momen bagi penduduk Jakarta untuk lari dari kesumpekan atau mereka yang hanya menumpang hidup untuk kembali ke keluarga di luar kota. Terlambat sedikit Faizi dan kawan-kawan bisa batal terbang ke Jerman. Selanjutnya pembaca akan disuguhi cerita yang landai-landai dengan penerbangan Turkish Airline yang transit di Bandara Cangi, Singapura, dan Istambul, Turki, sebelum sampai di Berlin. Tapi jangan khawatir, kepiawaian penulisnya meramu cerita datar menjadi menarik membuat pembaca tidak akan beranjak ke lain buku. Penulis buku ini memiliki stamina menulis yang luar biasa, sehingga dari awal hingga akhir tidak terlihat penggarapan yang asal-asalan. Semuanya teramu dengan kualitas \"kompor gas\", bahkan \'dobel\' tungku. \"Kompor gas\" ini adalah istilah Indro, anggota Grup Warkop, untuk menggambarkan penampilan yang bagus dari peserta kontes komedian di televisi swasta. Dan daya tarik lainnya adalah letupan-letupan \"nakal\" yang menjadi pelengkap dalam penggambaran setiap momen. Misalnya, di bab \"Satu Nusa, Satu Bangsa, Seni Bahasa Kita\". Penulis mengaku bingung dengan kuliner di Berlin yang sajiannya beraneka jenis. Pilihan hidup sederhana dalam kesehariannya, membuat dia tidak pandai meramu kuliner itu agar menjadi pas, baik di mulut maupun dalam pandangan sekitar. Simaklah pikiran yang muncul dalam suasana \"ketegangan\" untuk urusan pemuas lidah ini. \"Kesimpulan saya: pengetahuan tentang apapun sebaiknya dikuasai seorang penyair, agar hidupnya tidak dihabiskan untuk membangun reputasi dalam sastra, tetapi kemudian dihancurkannya di atas meja makan,\" kata Lora Faizi. Kita baca lagi bagaimana ia menceritakan kemampuan Bahasa Inggrisnya, yang ia sebut terbata-bata. Ketika bertemu orang dan mengharuskan dirinya berbahasa Inggris, maka kemampuannya yang minimal itu ia sebut harus dimaksimalkan. Caranya? Dengan bahasa isyarat, yakni gerakan tangan dan mimik. Katanya, bahasa tubuh merupakan bahasa tertua di dunia. Laiknya perjalanan jauh menembus batas-batas budaya, bukannya tidak mengalami masalah. Suatu malam Faizi dan kawan-kawan bersantai di restoran seusai menikmati kontes musik. Ketika obrolan mereka dibumbui cerita lucu, meledaklah tawa para seniman itu. Seorang pelayan menghampiri dan mengingatkan agar mereka tidak membuat gaduh karena bisa mengganggu penduduk sekitar. Hal itu bisa menimbulkan protes, bahkan bisa dilaporkan ke polisi. \"Hati-hati, Zi. Jangan pernah beranggapan bahwa semua tindakan yang boleh dilakukan di negerimu itu berarti boleh kamu lakukan di sini, meskipun itu tidak prinsip. Kata kuncinya, jangan mengusik orang lain. Saya balik berkata kepada batin, sebaliknya, apa yang kita anggap tidak sopan, di sini bisa dilakukan tanpa beban, di muka umum,\" ucapnya, membatin. Ia melanjutkan, \"Betapa enak tinggal di Indonesia.\" Kalimat itu beberapa kali diungkapkan di kejadian lain untuk menggambarkan bahwa negeri maju dengan sistem yang serba tertata itu juga menyimpan \"kelemahan\". Setidaknya dalam rasa orang Indonesia dari Madura, dari Guluk-Guluk. Untuk urusan ibadah, meskipun masjid tidak sebanyak di Indonesia, khususnya Madura, tampaknya Faizi dan rombongan tidak mengalami masalah. Masalah muncul satu kali karena lupa hari Jumat ketika waktu shalat wajib berjamaah itu sudah tidak mungkin dikejar. \"Jumat kali ini saya tidak hadir, Tuhan.\" Waktu terus berjalan, dan tibalah perpisahan. Karena penerbangan ke Jakarta sore, masih ada waktu dari pagi hingga siang untuk berjumpa temannya di Jerman. Dalam perjalanan ke rumah temannya, Tolya Glaukos dengan mobil, ia menulis bahwa pohon-pohon yang rimbun di pinggir jalan seperti bergerak dan memanggil-manggil dirinya. Ia merespons lambaian pohon di Jerman itu, \"Jangan khawatir, Berlin. Suatu saat saya akan kembali ke sini.\" Cerita beralih pada penerbangan ke Bandara Soekarno Hatta yang berjalan mulus dan dilengkapi dengan angkutan Damri serta ojek. Agaknya, bab \"Hari-hari yang Haru\" yang tiba-tiba menyeruak di akhir cerita agak mengganggu kenikmatan membaca kisah ini. Psikologis pembaca yang sudah berada dalam bingkai Jakarta, tiba-tiba ditarik kembali ke Jerman. Meskipun demikian, hal itu tidak sampai malarutkan keasyikan membaca cerita penyair yang biasanya menambahi nama belakangnya dengan L Kaelan, --dibaca \"elkaelan\"-- (bahasa Madura yang artinya kurang lebih mengunyah-ngunyah) ini.(*)
Resensi Buku - Ke Jerman Berbekal Puisi
Jumat, 20 Maret 2015 14:31 WIB