Jakarta (ANTARA) - "Vox populi, vox Dei." Suara rakyat adalah suara Tuhan. Ungkapan ini pertama kali muncul dalam surat Alcuin dari York kepada Charlemagne pada akhir abad ke-8.
Namun, menariknya, Alcuin justru memperingatkan agar tidak selalu mengikuti pendapat umum. Meski begitu, frase ini kemudian sering digunakan untuk menegaskan bahwa kehendak rakyat tidak bisa diabaikan.
Sejarah berkali-kali membuktikan, penguasa yang gagal memahami rakyatnya akan menghadapi konsekuensi besar.
Karena pada dasarnya, tantangan terbesar dalam pemerintahan, bukan sekadar soal kebijakan, melainkan bagaimana menyampaikannya.
Berkomunikasi bukan sekadar berbicara, tetapi memastikan bahwa rakyat merasa didengar dan dipahami. Jika tidak, ada harga yang harus dibayar.
Saat rakyat merasa diabaikan, mereka bereaksi. Ada yang menjadi apatis, ada yang skeptis. Tapi dalam kondisi tertentu, ketidakpuasan bisa berubah menjadi amarah. Dan ketika itu terjadi, efeknya tidak bisa diremehkan.
Lihat saja Prancis pada abad ke-18. Di saat rakyatnya kelaparan, Raja Louis XVI dan Marie Antoinette hidup nyaman di Istana Versailles, seolah terpisah dari realitas.
Ketika harga roti melambung, yang terdengar justru sikap acuh dan keangkuhan. Kata-kata, seperti "Biarkan mereka makan kue" (meski ada perdebatan soal kebenaran kutipan ini) menjadi simbol betapa jauhnya penguasa dari rakyatnya.
Akibatnya? Rakyat akhirnya meledak dalam amarah yang tidak terbendung. Monarki yang telah berdiri berabad-abad runtuh hanya dalam hitungan tahun. Ribuan kepala bangsawan berguguran di bawah guillotine.
Pola serupa berulang dalam berbagai bentuk di berbagai negara. Bukan hanya dalam revolusi berdarah, tetapi juga dalam kepercayaan yang perlahan terkikis terhadap pemerintah yang gagal berkomunikasi.
Di sisi lain, ada pemimpin yang memahami betul bahwa komunikasi bisa menjadi penyelamat di tengah krisis.
Franklin D. Roosevelt, misalnya. Saat Amerika Serikat terjebak dalam depresi besar, kepercayaan rakyat terhadap pemerintah nyaris habis. Pengangguran meroket, bank-bank bangkrut, dan harapan memudar.
Namun, Roosevelt tidak hanya mengandalkan kebijakan ekonomi. Ia melakukan sesuatu yang jauh lebih sederhana, tapi sangat berdampak, ia bicara. Lewat Fireside Chats, Roosevelt berbicara langsung kepada rakyatnya melalui radio.
Ia menjelaskan kebijakan-kebijakan sulit dengan bahasa yang mudah dipahami. Bukan dengan jargon birokratis, bukan dengan angka-angka kering, tetapi dengan kalimat yang membuat rakyat merasa didengar dan diperjuangkan.
Hasilnya? Kepercayaan kembali tumbuh. Perlahan, Amerika bangkit.
Di belahan dunia lain, Kaisar Hirohito melakukan hal yang tidak terbayangkan pada zamannya. Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, ia berbicara langsung kepada rakyatnya melalui radio dalam pidato Jewel Voice Broadcast pada 15 Agustus 1945.
Itu adalah momen yang menghancurkan, tapi sekaligus mengubah segalanya. Rakyat yang selama ini melihatnya sebagai sosok ilahi, tiba-tiba mendengar suara kaisarnya sebagai manusia di balik mitos.
Dalam momen itu, Jepang tidak hanya menerima kekalahan, tetapi juga membuka babak baru dalam hubungan antara pemimpin dan rakyatnya.
Zaman berubah
Dulu, komunikasi pemimpin kepada rakyat hanya bergantung pada pidato, siaran radio, atau media cetak. Kini, lanskapnya berubah. Rakyat memiliki lebih banyak saluran untuk berbicara, dari Twitter (X), Facebook, hingga TikTok.
Peneliti Dedi Supriyanto dari Universitas Jenderal Sudirman dalam Journal Of Social Science Research (2024) melakukan kajian berjudul "Media Sosial dalam Efektivitas Komunikasi Pelayanan Publik Instansi Pemerintah Daerah".
Ia mencatat bahwa keterlibatan pemerintah daerah di media sosial bukan sekadar formalitas, tetapi bisa menjadi alat penting dalam membangun kepercayaan publik. Saat pemerintah aktif berinteraksi, menjawab keluhan, dan membagikan informasi secara terbuka, jarak antara penguasa dan rakyat bisa diperkecil.
Masalahnya, banyak pemimpin yang masih melihat komunikasi sebagai sekadar pernyataan resmi. Di tengah krisis, yang sering terdengar justru kalimat seperti, “Situasi sedang kami evaluasi dan koordinasi dengan pihak terkait." “Kami meminta masyarakat tetap tenang dan tidak panik." "Pemerintah berkomitmen untuk menangani situasi ini secepat mungkin."
Padahal, rakyat tidak butuh kata-kata dingin semacam itu. Mereka butuh pemimpin yang hadir, berbicara langsung, dan benar-benar memahami keresahan mereka.
Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru, memahami hal ini dengan sangat baik. Saat pandemi melanda, ia tidak hanya mengumumkan kebijakan.
Ia berbicara dengan empati. “Saya tahu ini sulit. Saya tahu ini menakutkan. Tapi kita akan melewati ini bersama.”
Kata-katanya sederhana, tapi dampaknya luar biasa. Ia menunjukkan bagaimana komunikasi bisa tegas, tapi tetap manusiawi. Ia tidak hanya mengumumkan kebijakan dan angka statistik, tapi juga berbicara dengan empati.
Komunikasi, kembali lagi, bukan cuma soal gaya bicara, melainkan soal membangun kepercayaan. Dan dalam kehidupan bernegara, kepercayaan itu lebih mahal dari apapun.
Pelajaran penting
Dari sejarah, banyak pelajaran yang bisa dipetik. Misalnya, berbicara itu bukan sekadar menyampaikan pesan, tapi memahami siapa yang diajak bicara.
Kalau rakyat sedang marah, jangan datang membawa angka statistik kering. Kalau rakyat sedang takut, jangan beri pidato kaku yang terasa seperti suara robot.
Kemudian, kejujuran juga lebih penting daripada pencitraan. Rakyat bisa memaafkan pemimpin yang membuat kesalahan, tapi mereka tidak akan melupakan pemimpin yang berbohong.
Selanjutnya, komunikasi bukan monolog, melainkan dialog. Pemerintah yang baik tidak hanya bicara, tapi juga mendengar, sehingga tercipta komunikasi dua arah yang hangat.
Dan mendengar bukan sekadar membaca survei atau melihat tren media sosial, tapi benar-benar turun ke bawah, mendengar langsung suara rakyat yang seringkali tidak terdengar di ruang-ruang formal.
Bukan sekadar menerima laporan dari bawahan yang kerap terdeviasi dan belum sepenuhnya mampu menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Pada akhirnya, komunikasi publik yang baik bukan soal kata-kata indah atau strategi komunikasi media yang canggih dari konsultan media yang dibayar mahal, melainkan soal membangun jembatan kepercayaan.
Dan jembatan itu hanya bisa berdiri kalau pemerintah memahami satu hal sederhana bahwa rakyat tidak membutuhkan pemimpin yang sempurna.
Mereka hanya butuh pemimpin yang mau bicara, mau mendengar, dan yang paling penting, mau mengakui bahwa tanpa rakyat, mereka bukan siapa-siapa.